Ketika Rasa Takut Itu Tiba, Pelayanan Janganlah Sirna
Distrik 13 Cirebon, mempunyai kegiatan yang rutin maupun tidak rutin. Salah satu kegiatan rutin adalah melaksanakan tugas dari gereja sebagai petugas koor dan tata tertib. Tugas koor diterima dari dua Paroki yaitu paroki Bunda Maria Cirebon dan paroki Santo Yusuf Cirebon dengan durasi waktu sekitar satu bulan sekali tiap paroki, sedangkan tugas tata tertib hanya dari paroki Bunda Maria sekitar satu bulan sekali.
Kegiatan yang tidak rutin seperti kelompok dialog, ziarah ke Gua Maria, bakti sosial dengan membagi nasi bungkus di depan gereja bagi tukang becak, buruh,
sopir angkot atau pemulung yang melintas. Terkadang kami juga berkeliling menghampiri mereka untuk membagi berkat yang lain. Tahun 2022 mendatang, distrik 13 Cirebon juga dipercaya sebagai tuan rumah DENAS.
Ketika awal pandemi, semua kegiatan terhenti 100%, karena gereja melaksanakan ibadah secara online, dan kegiatan yang sifatnya rutin mulai bergeliat lagi setelah masa New Normal diberlakukan. Tentu dengan kondisi dan situasi yang sangat berbeda dibandingkan sebelum pandemi karena ketentuan protokol kesehatan yang sangat ketat yang harus ditaati. Menjaga jarak, menggunakan masker mencuci tangan dan hand sanitizer tersedia di beberapa tempat keluar masuk gereja.
Kondisi ini sering membuat rasa was-was, khawatir dan juga takut tertular serta ketidaknyamanan. Perasaan takut muncul ketika aku harus memulai lagi aktif berlatih koor. Aku dan Petrus menjadi anggota tiga komunitas koor, yaitu komunitas lingkungan Thomas Aquinas, komunitas Gaudium (merupakan kelompok paduan suara paroki Bunda Maria Cirebon) dan komunitas ME, sedang Petrus masih punya lagi kelompok koor CFM, yang aku tidak ikut menjadi anggotanya.
Banyak komunitas yang kami ikuti, membuat perjumpaanku dengan banyak orang dengan berbagai macam profesi dan beraneka macam karakter membuat aku semakin berhati-hati dalam menerapkan protokol kesehatan. Hal tersebut membuat aku merasa tidak nyaman, karena tetap mengenakan masker ketika bernyanyi atau berkomunikasi sehingga suara tidak jelas.
Awal pandemi, Paskah 12 April 2020, aku dan Petrus mendapat tugas untuk menyanyi pada misa paskah secara streaming di paroki Bunda Maria Cirebon. Aku menyebutnya sebagai tugas menyanyi dan bukan koor karena hanya empat orang, itu pun mereka harus merangkap tugas yang lain. Ada perasaan amat takut dan kekhawatiran yang besar. Suasana yang membuat aku merasa tercekam karena seumur hidupku baru pertama kali mendapat tugas dalam perayaan ekaristi tanpa dihadiri umat, karena umat mengikuti misa secara online di rumah masing-masing, yang hadir hanya petugas, itu pun sangat sedikit.
Seiring berjalanya waktu, dengan diterapkannya new normal, aku mulai beradaptasi dengan tugas-tugas koor dan tugas gereja yang lain. Perasaan takut mulai memudar diganti dengan perasaan tetap waspada dan hati-hati serta menuntut diri sendiri untuk disiplin menerapkan protokol kesehatan.Aku mulai terbiasa dengan zoom dalam pertemuan-pertemuan KD atau pertemuan yang lain, seperti pertemuan kontributor e-relasi ini.
Aku merasa pandemi membawa dampak perubahan luar biasa dalam tatanan kehidupan. Dan aku selalu memfokuskan pada perubahan positifnya saja, dampak negatif aku abaikan. Salah satu dampak positifnya adalah kebiasaan kami berdoa rosario setiap sore bersama anak-anak. Karena doa juga bisa mengatasi atau mengurangi rasa takut, khawatir dan cemas. Ketika sore aku dan Petrus ada kegiatan di gereja, anak- anak tetap berdoa rosario. Hal yang aku yakini, dalam situasi apapun Tuhan bekerja menyertai dan menolong. Penyertaan- Nya selalu dapat dirasakan ketika aku selalu memandang dan mencari hal positif dalam setiap peristiwa, tetap bersyukur, bersukacita dan bergembira, karena yakin akan cinta Tuhan yang tak terbatas. Kasih Tuhan senantiasa aku dan Petrus rasakan dalam setiap kesulitan yang kami hadapi.
Pasutri Anton-Wiwik sebagai koordinator koor ME mempunyai ketakutan tersendiri dalam menghadapi perubahan situasi akibat pandemi ini. Di samping takut tertular virus, juga takut tidak dapat berlanjutnya kegiatan koor ME. Muncul perasaan tidak berdaya atau tak sanggup untuk melanjutkan kegiatan koor komunitas ini karena banyak faktor.
Anggota koor ME banyak yang sudah memasuki usia di atas 50 tahun atau lebih. Usia yang sudah tidak bisa dibilang muda, penyakit seperti tekanan darah tinggi, kolesterol dan lainnya yang mulai muncul, menjadikan alasan banyak anggota yang mengundurkan diri. Dengan demikian anggota banyak berkurang.
Protokol kesehatan di dalam gereja yang membatasi jumlah anggota koor hanya maksimal 10 hingga 14 orang juga menimbulkan masalah tersendiri bagi Anton-Wiwik. Anggota harus dibagi menjadi dua kelompok agar bisa sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan, sehingga anggota bisa menjaga jarak. Tapi keputusan membagi memang harus dilakukan meskipun dengan perasan tidak tega dan rasa takut akan timbul masalah yang lain
Pembagian kelompok menimbulkan ketakutan hilangnya keakraban antar anggota, karena tujuan awal dari dibentuknya koor ME ini lebih pada keakraban dan bukan prestasi bernyanyi. Di samping takut akan kearaban yang hilang, juga muncul rasa takut bila ada pendapat kelompok satu lebih baik dari kelompok yang lain.
Bagi Anton – Wiwik, rasa takut tetap bisa di atasi dengan menyertakan peran Tuhan. Dengan keyakinan bahwa penyertaan Tuhan selalu ada dalam setiap kesulitan, maka Anton – Wiwik mulai mengajak anggota ME yang berusia lebih muda untuk bergabung dalam koor ME ini. Dengan bergabungnya beberapa anggota muda, semangat dan keyakinan bahwa koor ME ini akan tetap dapat berjalan dengan baik muncul kembali. [IJ, EA]