Don’t Be Afraid…. You Are Not Alone

Pengantar. Perjumpaan dengan pasutri muda Eman-Windi, orangtua dari Celo, seorang anak berusia 5 tahun yang terbawa arus banjir bandang di Adonara dan diketemukan 5 jam kemudian membuat saya tersentuh dengan sikap iman mereka. Ketika ditemukan, Celo dalam kondisi mata merah dan tatapan mata kosong, dari kaki sampai rambutnya kotor dengan lumpur. Sharing iman pasutri muda ini membuka mataku untuk memahami ungkapan ‘jangan takut’. Di tengah keluarga yang tercerai berai dan anak satu- satunya terlepas dari pelukan seorang ibu dan terbawa arus banjir bandang, nampak iman seorang ibu yang masih bisa berkata: ‘mari kita berdoa dan minta mukjizat Tuhan. Di tengah ketakutan, mereka berlindung pada iman dan doa serta menyandarkan kekuatan sebagai pasangan dan keluarga. Bahkan di akhir komunikasi kami, ada optimisme yang sang suami sampaikan: “semoga kedepan kita bisa membangun masa depan yang lebih baik lagi”. Mereka menyeberangi rasa takut dan trauma dan menjadi optimis menatap ke depan.

Amazing….

Pengalaman takut di sekitar kita emas, takut dan kuatir adalah perasaan-perasaan yang sering kita gumuli dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam situasi pandemi covid 19 seperti ini, ketakutan menghantui semua manusia, sampai-sampai kita pun harus sangat berhati-hati dalam berelasi dengan banyak orang. Semua dibatasi dan budaya perjumpaan seperti yang biasa kita lakukan saat situasi normal belum bisa kita adakan. Bahkan, ketika mendengar salah satu keluarga, sahabat atau kenalan kita meninggal karena covid 19, kita pun juga dilanda kekhawatiran dan kecemasan. Perasaan takut dan cemas menjadi bagian
dalam kehidupan kita.

Banyak bentuk ketakutan dan kecemasan lain yang kita hadapi, misalnya: tentang masa depan kita, pekerjaan, kesehatan, relasi dan juga penghayatan kehidupan beriman. Bahkan, saat ini ketakutan dan kecemasan itu juga menghantui komunitas basis terkecil kita, yakni keluarga, sampai-sampai hal itu merusak relasi kita dengan pasangan dan anak-anak. Pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana situasi ke depan, apa yang akan terjadi, menjadi salah satu sumber kecemasan dan ketakutan kita.

Menurut catatan berbagai sumber, ketakutan dalam keluarga berkembang menjadi stress yang berkepanjangan dan mengakibatkan perilaku yang berubah, seperti sikap kasar yang memicu kekerasan dalam rumah tangga yang semakin meningkat di masa pandemi (http://berkas dpr.go.id; http://nasional.kompas. com; http:/www.voaindonesia.com).

Persoalan utamanya adalah ketidakmampuan pribadi-pribadi dalam mengelola ketakutan dan kekhawatiran akan masa depan, meskipun pemicu awalnya adalah persoalan ekonomi.
Keluarga Kudus dan pengalaman ketakutan mereka.

Perasaan takut bukan hanya menjadi monopoli keluarga kita masa kini yang memang tidak sempurna. Ikon keluarga Kristiani, yakni Keluarga Kudus pun bergumul dengan perasaan takut yang dahsyat ketika harus melawan arus budaya dan akal sehat demi mengemban karya keselamatan Allah yang begitu misteri bagi kita. Figur-figur keluarga kudus adalah figur-figur yang menang atas rasa takut dan menjadi role model bagaimana ketakutan itu digumuli, dihadapi dan di atasi.

Maria, seorang ibu muda, sangat takut ketika didatangi malaikat dan mengemban perutusan untuk mengandung Sang Putra. “Bagaimana aku mengandung karena aku belum bersuami?” Beliau bisa membayangkan nasib yang akan terjadi bila seorang perempuan Yahudi hamil tanpa seorang laki-laki. Bisa dibayangkan bagaimana ketakutan seorang perempuan muda menghadapi aib dan juga hukuman rajam yang akan menimpanya. Namun sikap pasrahnya, “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanMu,” menjadi jalan yang dia pilih dan putuskan dalam mengatasi ketakutan dan kecemasan itu. Inilah bentuk ketakutan akan situasi hidup yang tidak berjalan sebagaimana direncanakan.

Yosef, seorang laki- laki yang tulus karena begitu taatnya kepada hukum Taurat, ketika dalam kebimbangan untuk menjadikan Maria yang sedang mengandung sebagai isterinya, memilih untuk lebih taat pada kehendak Allah daripada ketakutannya kepada hukum taurat yang selama ini dihidupinya. Bahkan, ia rela menjadi pribadi penyelamat ketika bahaya mengintai keluarga kudus dalam kisah pengungsian ke Mesir. Inilah bentuk ketakutan akan masa depan.

Yesus, meskipun Putera Allah, merasakan ketakutan dan kengerian menjelang sengsara-Nya dalam doanya di taman Getsemani.Begitu takutnya sampai mengucapkan,“Jikalau cawan ini boleh berlalu dari padaku.” Namun di tengah ketakutan-Nya, Dia bersikap pasrah dan memilih kehendak Allah yang terjadi dalam hidup-Nya. Mengatasi rasa takut dengan sikap pasrah dan memutuskan untuk memilih rencana dan kehendak Allah yang terjadi. Inilah bentuk ketakutan akan sebuah pilihan hidup dan konsekuensinya.

Belajar dari Keluarga Kudus Nazaret kita bisa menangkap bahwa 3 bentuk ketakutan yang mendasar dalam kehidupan ini:

  1. Ketakutan karena situasi yang tidak berjalan seperti direncanakan sehingga kita mengalami kegelapan hidup;
  2. Ketakutan akan masa depan; dan
  3. Ketakutan atas sebuah pilihan dan konsekuensi yang akan dialami.

Masing-masing dari kita mengalami situasi ini. Namun yang terpenting adalah bagaimana belajar dari pribadi-pribadi dalam Keluarga Kudus untuk mengatasi ketakutan itu. Keluarga kudus mengajarkan kepada kita bagaimana kita mengatasi segala ketakutan dengan 3 sikap dasar, yakni:

  • Pertama, sikap berserah menjadi sikap yang utama dalam menghadapi perasaan takut dalam kehidupan ini;
  • Kedua dalam sikap pasrah itu, kita berani hening dan berdoa mencari kehendak Allah yang terbaik dalam hidup kita; dan
  • Ketiga adalah membuat pilihan dan keputusan serta menjalaninya dengan penuh kegembiraan dan ikhlas.

Tiga sikap dasar inilah menjadi kunci bagaimana ketakutan itu digumuli, dihadapi dan di atasi, sehingga apapun situasinya, kita tetap menjadi pemenang dan tuan atas hidup kita termasuk segala situasi yang kita alami.

Menyeberangi ketakutan dengan semangat PASKAH: PASangan-Keluarga dan Allah Hadir
Satu kekuatan besar bagi keluarga untuk mengatasi dari perasaan takut adalah suatu keyakinan bahwa kita tidak berjalan sendirian, “you are not alone”. Ungkapan “you are not alone” menjadi modal dasar bagi kita sekaligus menjadi kekuatan kita untuk menyeberangi rasa takut menjadi sikap berani, mengubah kegelapan hidup menjadi optimis dan beban berat akan menjadi ringan bahkan yang berat menjadi berkat. Keluarga pasutri muda Eman dan Windi, sebagaimana saya sampaikan dalam kisah di awal tulisan ini membuktikan kebenaran pengalaman tersebut.

Untuk mengatasi rasa takut, keluarga-keluarga perlu saling menanamkan sikap tidak sendirian dengan menyalakan kembali dengan semangat tritunggal PASKAH, yakni: PASangan – Keluarga – Allah – Hadir.

Perasaan kehadiran tiga unsur utama dalam kehidupan kita, Pasangan- Keluarga dan Allah akan membuat kita menjadi tenang dalam mengarungi perasaan takut dan gelap dalam hidup kita. Jika Allah, Pasangan dan Keluarga hadir dalam kehidupan kita, terutama saat-saat gelap hidup kita, kita akan merasakan tenang, didukung dan tidak merasa ditinggalkan.
Sebuah keluarga adalah sebuah team,dan partner tersolid kita dalam mengarungi bahtera kehidupan ini adalah PASANGAN kita. Pasangan kita lah yang akan mendampingi kita dengan hati penuh kasih dan dengan segenap kekuatan karena mereka-lah bagian terbesar dalam hidup kita. Pasangan kita lah yang paling peduli dengan nasib kita dibandingkan dengan yang lainnya.

Kekuatan kedua adalah KELUARGA, karena sejak kecil kita adalah bagian dari keluarga, di mana kedekatan dan relasi sudah terjalin secara kuat dalam kehidupan kita dengan orangtua dan saudara-saudari kita. Berbagai pengalaman bersama yang sudah dipupuk sejak masa kecil akan menjamin bahwa kita tidak akan dibiarkan sendirian oleh pribadi-pribadi dari asal mula kehidupan kita, yakni keluarga.

Kehadiran ALLAH mutlak dalam hidup kita karena hanya Allah-lah yang paling setia dan peduli dengan kita, entah siapapun kita dan bagaimana perilaku hidup kita. Dia tidak pernah meninggalkan hidup kita kendati kita tidak setia dan sering meninggalkannya. Kehadiran Allah bisa kita rasakan dalam iman, dan diri-Nya bisa kita sapa dalam doa. Semangat iman dan doa ini mendatangkan sikap pasrah dalam hidup kita terutama dalam mengatasi berbagai ketakutan dalam hidup.

Dalam situasi hidup kita yang tidak mudah, mari kita saling meneguhkan satu sama lain dengan membisikkan “don’t be afraid, you are not alone” seraya menyalakan kembali semangat PASKAH dalam hidup kita: PASangan – Keluarga – Allah – Hadir senantiasa dalam apapun situasi hidup keluarga kita. Don’t be afraid, you are not alone.

Tuhan memberkati,
Keluarga Kudus Nazaret melindungi. [EA,IJ]

Start typing and press Enter to search