Lima Roti dan Dua Ikan, Cukupkah?

Rasa takut biasanya terkait dengan apa yang terjadi di masa mendatang, melibatkan pikiran negatif tentang hal-hal yang mungkin terjadi, atau tidak terjadi. Saat mencapai
titik di mana pikiran dan ketakutan tersebut telah membatasi dan mengurung kita dalam menjalani hidup sehari-hari, maka kita harus berani mengambil tindakan.

Pasutri Wawan-Mari
Perasaan takut bisa dialami oleh siapapun, misalnya seorang istri takut kalau ditinggal pergi suami, seorang artis takut ditinggalkan penggemarnya, pengusaha takut jika omsetnya menurun. Munculnya covid-19, memicu ketakutan yang berlarut-larut.
Menjelang pemilihan pejabat banyak calon yang merasa takut. Mirip dengan situasi kami menjelang pemilihan Koordinator Distrik (Kordis) 5 Purwokerto. Bedanya, kalau calon pejabat publik sangat takut apabila gagal terpilih, sedangkan kami takut apabila benar-benar terpilih. Dan akhirnya ketakutan itu benar-benar terjadi. Kami terpilih sebagai Kordis.
Menjadi Kordis bukan cita-cita kami. Menjadi Kordis bukan mimpi kami. Maka, ketika ada rekan tim yang menyeletuk agar kami bersedia menjadi Kordis, kami selalu menghindar dan menolak. Desakan rekan tim membuat kami tidak nyaman. Ada ketakutan. Apa yang menjadi ketakutan kami, dan bagaimana kami menggeluti ketakutan sehingga kami mengambil keputusan, “Ya, kami siap diutus.” Berikut sharing kami.

Mari
“Wawan-Mari, siap jadi calon Kordis, ya!” kata Rita, mantan Kordis.
“Aduuuhhhh, nggak-nggak, jangan-jangan, kami jangan dululah.

Demikian penolakan kami setiap ada desakan teman tim. Kekhawatiranku menjadi Kordis adalah masalah izin dari pekerjaan. Aku merasa tidak nyaman meninggalkan pekerjaan utama sebagai guru. Apalagi sebagai ASN zaman sekarang tidak mudah untuk minta izin yang tidak ada kaitannya dengan urusan dinas. Kekhawatiranku yang kedua adalah tidak mampu menjadi koordinator tingkat Keuskupan. Pengetahuan tentang Gerakan ME masih sangat terbatas. Kekhawatiran ini berdampak pada kesehatan fisik seperti sulit tidur, dan kesulitan bila ke belakang.

Ketakutan dan kekhawatiran ini terus meningkat bila kami rapat tim. ”Tuhan, mampukah aku melakukan pelayanan ini? Pantaskah aku? Bagaimana aku akan mengikuti pertemuan nasional pada hari kerja? Beranikah aku minta izin? Tuhannnnnn!!!”

Kordis Pastor Bony dan Pasutri Hery-Wiwit serta mantan Kordis Pasutri Budi-Rita, mengetahui kegelisahanku. Mereka sharing pengalamannya sebagai Kordis, dan memberi peneguhan. Menjadi Kordis adalah suatu perutusan untuk melestarikan gerakan. Tuhan mengutus bukan kepada orang yang hebat, namun kepada yang bersedia.

Seminggu sebelum discernment, aku menyempatkan untuk hening. Aku resapkan kembali sharing rekan-rekan di atas. Dalam hening tersebut suara hatiku mengatakan; “Jangan menolak suatu kepercayaan.” Akhirnya aku dan pasanganku mempercayakan semuanya kepada-Nya. Inilah diriku pakailah seturut kehendakMu dalam pelayanan ini.

Wawan
Berbeda dengan Mari, aku tidak begitu gelisah. Namun aku lebih berpikir tentang nilai pengorbanan yang akan kulakukan. Apabila kami menjadi Kordis, akan menambah pengeluaran baik biaya maupun tenaga. Disitulah ketakutanku. Namun, aku pun sadar bahwa menghindar dari kepercayaan adalah tidak layak. Berkecimpung dalam ME, tidak bisa setengah- setengah, harus total. Tugas pelayanan, tidak perlu menjadi sempurna dan menunggu kaya dulu, namun niat dan siap.

Setiap takut dan galau, aku tidak buru-buru mengambil suatu keputusan. Kubawa dalam keheningan, agar bisa membedakan mana yang berasal dari roh baik, dan mana yang bukan. Sampai pada saat yang tepat, aku menyatakan, “Ya!”

Ternyata, melepaskan suatu ketakutan diperlukan keheningan dalam diri. Apabila keputusan kami dianggap sebagai langkah maju, tentu bukan karena kemampuan kami semata, namun campur tangan banyak pihak. Dukungan dari teman-teman tim membuat mantap niat kami.
Akhirnya, kami hanya bisa berserah pada-Nya. “Ya Tuhan, kami hanya punya lima roti dan dua ikan, kami serahkan pada- Mu untuk memberkatinya, kami siap untuk membagikannya.”[EA/SD]

Start typing and press Enter to search