Trilogi Sukacita Kasih (Amoris Laetitia)

Trilogi Pertama: 3 Inspirasi Sukacita Kasih dari Keluarga Cemara

Sukacita kasih, ternyata tidak terlalu mudah untuk menjelaskan makna dua kata sederhana ini. Sukacita Kasih menuntut cinta kita tidak cukup berhenti hanya pada saling mengagumi dan menghargai, tetapi harus sampai pada memancarkan belas kasih Allah yang mengampuni dan menyelamatkan. Saat menonton film Keluarga Cemara (Visinema Pictures tahun 2019) membuat kami lebih mudah mengunyah dan mencerna apa itu makna sukacita kasih.

Yang pertama, hidup itu berjalan diluar kendali kita, ketika segala sesuatu berjalan tidak sesuai rencana kita, dibalik rasa kecewa, kita diingatkan untuk mencari rencana Allah atas kehidupan kita. Berikutnya, kita sungguh merasa dicintai justru ketika kita diterima dan disayang karena kekurangan kita; karena kita tidak sempurna. Sebagaimana penggalan kalimat dalam buku The Alchemist nya Paulo Coelho, One is loved because one is loved. Tidak perlu alasan untuk mencinta. Ketiga, dengan mencintai tanpa reserve, kasih tampil dalam wujud aslinya yang penyabar, murah hati, tidak membuka aib, dan setia. Sebagaimana dalam madah kasih 1Kor.13:4-7.

Sukacita kasih ini kiranya yang membuat keluarga Abah, Emak, Euis dan Ara mampu melalui gejolak “permainan nasib” yang membuat hidup mereka terpuruk secara ekonomi, tercabut dari hidup perkotaan dan harus melalui serial ketidakberuntungan. Namun sebagaimana tagline dalam film ini yang juga sound track-nya, harta yang paling berharga adalah keluarga, yang membuat mereka kemudian berjuang untuk kembali menyusun hidup yang baru, beradaptasi, dan menemukan arti keluarga sesungguhnya. (Pasutri Beny Hety)

Trilogi kedua: Sukacita Kasih Dalam Himpitan Persoalan

Menemukan sukacita kasih di tengah pandemi ibarat mencari jarum dalam sekam. Pengalaman pernah menjadi kontak erat teman kerja yang terkonfirmasi positif atau mendengar berita mereka yang meninggal, menambah rentetan pertanyaan yang melibatkan iman. Apakah Tuhan tidur di buritan kapal? Apakah Tuhan hanya hadir 2000 tahun yang lalu dengan mengatakan; … Aku mau, jadilah engkau tahir? Tuhan seakan-akan mengatakan; Pandemi? It’s Not My Business. Sayangnya Tuhan tetap diam. Sepertinya diamnya DIA tatkala Elia meminta tanda di awan sebagai isyarat akan turun hujan di tanah Israel.

Kenyataannya kami pun terbiasa dengan pola hidup baru. Kami dapat membuat pilihan untuk tetap di rumah, bekerja dari rumah. Menambah intensitas relasi personal dengan anggota keluarga lainnya adalah sukacita yang mengikuti. Kami menemukan Tuhan.

Bergabung di program Kampung Tangguh, membuat kami lebih peduli dengan tetangga yang sedang isoman. Mereka tersapa di tengah keterpurukan. Tuhan tidak menyuruh orang-orang yang mengikutinya pulang karena lapar, tetapi berkata kepada para murid, “Kamu harus memberi mereka makan”.

Tuhan sedang mengajarkan kami bagaimana mengimani DIA secara baru. Itulah sukacita kami. Melalui himpitan persoalan yang datang saat pandemi, Tuhan mengundang kami untuk tetap berbagi sukacita kasih bagi sesama yang membutuhkan “Kami tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi DIA, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Rom 8:28) (Pasutri Martin Mery)

Trilogi Ketiga: Menghidupi Tiga Kata Ajaib

Dalam topik tentang kasih yang tampak dan bertumbuh (AL 133-134), Paus Fransiskus menyarankan kepada kita supaya terus mengembangkan, menumbuhkan serta mengungkapkan kasih dalam perkawinan kita. Kasih itu mesti diungkapkan dengan bebas, murah hati dan dalam kata dan tingkah laku sehari-hari.

Tentu kita masih ingat tiga kata ajaib yang diusulkan Paus, yaitu kata-kata: tolong, terima kasih dan maaf.
Kata-kata ini baru bisa diucapkan dengan sadar setiap saat, dalam situasi apapun, dan terus-menerus, bila sikap ingat diri (egois) sudah kita ganti dengan sikap rendah hati, mau menghargai dan mau mencintai orang lain, maka kata-kata: tolong, terima kasih dan maaf akan membawa keluarga kita ke dalam suasana damai dan sukacita. (AL133)

Bagaimana caranya agar tiga kata ini mampu dihidupi dengan penuh kesadaran dan menjadi bagian dari sikap mencintai sebagai sebuah keputusan? Kami memilih untuk menghidupkan sikap menghargai, kasih dan kebersamaan sehingga keputusan untuk mencintai itu, bisa kami buat setiap saat.

Pertama sikap untuk menghargai pasangan. Ini saya mulai dengan melihat dia (Bety) sebagai seorang manusia, yang diciptakan Tuhan, menurut citraNya, yang sepadan dengan saya. Dengan sikap ini, saya tidak mau menjatuhkan dia, dalam situasi apapun, atau dengan kata yang menyakiti. Sebaliknya saya mau agar dia (Bety) bebas untuk berpikir, termasuk dalam hal mempunyai pendapat yang berbeda.

Sikap kedua adalah kasih. Ketika menikah, saya sudah berjanji untuk hidup demi kebaikan pasangan. Saya mau merubah diri saya demi kebaikan dia, menjadi teman seperjalanannya, menjadi tempat curhat dan tempat berbagi kerisauan, kesedihan, pergulatan hatinya juga semua kegembiraannya.

Sikap ketiga adalah memilih kebersamaan. Kita menjadi tergantung satu sama lain, seperti halnya tim olahraga yang berjuang demi tujuan bersama. Kita mengarungi bahtera perkawinan sebagai perjalanan bersama menuju kepada Bapa di Surga. Kebersamaan, berarti bukan tentang kebahagiaan saya saja, tapi kita berdua hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Saya (Bety) mau supaya kami tetap bersama-sama sehati dan sekata, sehingga kami punya kekuatan pasangan (couple power) agar kami bisa berbuat lebih baik.

Dengan menghidupi tiga sikap ini, akan sangat mudah bagi kami untuk secara sadar bisa membuat keputusan untuk mencintai. Yang akhirnya akan dengan mudah membiasakan kami untuk mengungkapkan kata-kata maaf, terima kasih dan tolong untuk menciptakan sukacita kasih dalam keluarga. (Pasutri Richard Bety) (IH/WN)

Start typing and press Enter to search