SAAT PANDEMI MEMENJARA DI RUMAH SENDIRI, DEVOSI MENJADI SOLUSI

Berdiam di rumah sendiri siapa yang tidak suka. Bagaimana pun kondisi rumah kita tetap akan terasa manis. Seperti yang dimaksudkan dalam ungkapan home sweet home. Namun bila harus tinggal di rumah dalam kurun waktu yang lama, sampai dua-tiga tahun dengan pergerakan yang terbatas, berbicara tidak bisa bebas, mau lari menemui sahabat seperti ada belenggu yang tidak bisa lepas, sungguh hidup ini seperti dipenjara. Ya, terpenjara di rumah sendiri.

Kenangan pahit selama masa pandemi semestinya tidak mudah terlupakan. Bahkan bisa jadi akan dikenang sepanjang hayat. Namun eforia jelang bebas pandemi telah menyebabkan manusia pada umumnya mudah melupakan kejadian pahit yang baru saja dialami. Manusia mudah melupakan horornya varian Delta yang merenggut ribuan jiwa. Seperti Tuhan yang acapkali mudah lupa akan dosa-dosa umatnya saking inginnya Dia segera memeluk anak-Nya dengan cinta.

Bagi saya merasakan dipenjara selama tiga pekan karena kontaminasi virus covid-19 cukup memberi pengalaman pahit. Kehilangan puluhan rekan kerja yang selama ini membantu saya dan turut mengukir prestasi di perusahaan adalah kepedihan hati yang tiada tara. Virus ini bukan saja menimbulkan gejala-gejala mirip flu dan sesak nafas. Namun komplikasinya sampai pada sakit hati, kehilangan gairah dan semangat kerja, bahkan sampai memadamkan semangat hidup.

Secara rohani situasi pandemi juga merenggangkan relasi dengan Sang Yang Illahi. Bayangkan lagi, ingatlah kembali, bahwa kita dijauhkan dari Liturgi. “Atas nama pandemi, umat tidak perlu datang ke gereja untuk mengikuti misa. Ekaristi hanya dilakukan di gereja oleh seorang pastor bersama satu-dua umat saja, boleh koster, bisa juga pegawai pastoran. Sedangkan umat, sah-sah saja mengikuti misa daring dari rumah masing-masing.” Demikian kira-kira seruan yang kita dengar. Seruan agar kita ‘menonton’ perayaan ekaristi dari penjara kita sendiri-sendiri.

Pasutri Ningrum Handono

Bukanlah umat yang bijak bila mudah menyerah dengan situasi. Memang pada awalnya kami (saya dan pasangan) menuruti saja seruan ini. Tapi minggu demi minggu, bulan berganti bulan, kita sama-sama saling bertanya dan mencoba menebak-nebak berapa lama kita akan begini. Jadilah kami ingat satu pelajaran dasar waktu dulu ingin menjadi Katolik. Ah, selain liturgi ada pula devosi lho. Devosi ini lebih bebas. Tidak banyak diatur seperti liturgi misalnya Ekaristi yang rumusannya sudah baku, ditetapkan oleh Gereja dan tak seorang pun berhak mengutiknya. Yes, devosi!

Berbicara devosi, saya bisa tebak apa yang pertama kali muncul dalam pikiran Anda. Anda menjawab Maria dan Rosario, bukan? Yes!  Itulah yang pertama kami lakukan secara intens. Pagi-pagi jam lima kami mengikuti misa daring. Pada bagian komuni terasa sekali ada yang kurang. Ah, tidak apa-apa. Setidaknya kami bisa berkontemplasi, beradorasi memandang gambar Sakramen Maha Kudus yang ditahtakan dalam monstran yang agung. Toh tadi sudah mendengarkan Sabda Allah juga. Nah, usai misa daring, untuk menghibur hati yang tidak sepenuhnya sukacita sebagaimana kalau misa on site, kami melanjutkannya dengan berdoa Rosario berpasangan. Mendaraskan Rosario dengan pasangan senantiasa memunculkan keinginan meneladan keluarga kudus Nazaret. Terbayang  bagaimana pribadi-pribadi pilihan Allah ini, Maria dan Yusuf (saya pilih menggunakan nama Yusuf yang sama dengan Yosef, Yosep, atau Joseph), mendidik Putera mereka, mengajari-Nya berdoa pada masa kanak-kanak-Nya.

Keinginan saya berdevosi kepada Santo Yusuf  mengantar saya menelisik siapa sebenarnya sosok hening ini. Sosok pria yang tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya yang tercatat dalam Alkitab. Sosok kepala keluarga yang tahunya hanya bekerja membanting tulang tanpa pernah mengeluarkan gerutu dan keluhan. Sosok suami yang mampu menjaga Sang Bunda tetap perawan. Sosok ayah yang tekun mengajari Puteranya dengan teladan perbuatannya. Saya banyak terbantu dari membaca buku MENCINTAI SANTO YUSUF tulisan Bobby Steven Timmerman, MSF dan terlebih lagi buku CONSECRATION TO ST. JOSEPH karya Fr. Donald Calloway. Semakin banyak mengetahui predikat kepala keluarga kudus Nazaret ini semakin tercenganglah saya. Pendeknya kami lantas berdevosi dengan penuh kekaguman dan berharap akan pertolongannya. Selain doa Rosario, doa-doa dan Litani St. Yusuf  pun mulai menjadi doa kami sehari-hari. Doa Salam Yusuf  baik didoakan maupun dilagukan menjadi hafalan yang mudah karena berpola mirip doa Salam Maria.

Beberapa predikat St. Yusuf yang tertulis dalam litaninya menjadi sangat berarti secara pribadi lantaran saya merasakan pertolongannya.  Kegembiraan Kehidupan Rumah Tangga, Penopang Keluarga adalah St. Yusuf. Ialah yang senantiasa menyalakan api cinta dan sukacita dalam keluarga kami. Sang Teladan Kaum Pekerja ini juga pernah membantu saya meredakan gejolak para pekerja di tempat saya bekerja. St. Yusuf sebagai Pengharapan Orang Sakit juga banyak menyembuhkan sakit degeneratif saya. Namun tentu sebelumnya saya juga harus meneladan Yusuf yang amat murni, Yusuf yang amat setia, Yusuf yang amat taat, sehingga saya juga bisa seperti Yusuf yang ditakuti oleh setan.

Ada satu peristiwa yang ingin sekali saya sharing-kan terkait satu predikat lagi : St. Yusuf, naungan orang yang menghadapi ajal. Suatu ketika, masih dalam masa pandemi ini, saya mendapatkan patung St. Yusuf yang tidak terpakai. Patung setinggi 100 cm ini sudah ada di paroki kami sejak 1961. Karena pernah terjatuh atau terbentur keras maka ia mengalami retak yang cukup parah pada punggung dan sebagian dada. Catnya juga sudah banyak mengelupas. Barangkali karena hal ini maka patung St. Yusuf tidak lagi dipasang pada tempatnya. Melihat wajah St. Yusuf yang tenang dan berwibawa itu menarik hati saya untuk membawanya pulang dan memperbaikinya. Setelah mendapatkan izin dari Romo Paroki, jadilah saya mengusung patung itu ke rumah. Mulailah saya mencari pengrajin yang bisa melakukan perbaikan, yang ternyata tidaklah mudah. Kebanyakan pengrajin mengatakan tidak berani mengambil risiko pecah atas retakan yang sudah cukup parah. Sampai suatu hari anak gadis kami menemukan seorang teman dari jurusan seni rupa yang bersedia membantu melakukan perbaikan dan mengecat ulang.

Perupa muda itu pun mulai mereparasi patung Sang Kepala Keluarga Kudus ini di rumah kami yang selama ini jadi pangkalan mahasiswa teman-teman anak bungsu kami. Dengan tekun pemuda bukan Nasrani ini berupaya agar patung bisa kembali pulih.

Saya menengok ‘bengkel’ reparasi patung itu ketika pekerjaan sudah lebih 50% penyelesaian. Saya kagum dengan semangat perupa muda itu dalam menyelesaikan pekerjaannya. Namun saya tercengang saat menyaksikan kondisi fisiknya. Dia begitu kurus, sering terbatuk, nafasnya sesak. Rupanya dia jarang makan karena sudah lama tidak bekerja lantaran pandemi. Sementara orang tua di kampung di luar pulau sudah tidak lagi mengirim biaya hidup. Sebagai kompensasi rasa lapar dia banyak merokok.

Hati kami tergerak rasa iba. Sebagai tenaga kesehatan, pasangan saya mulai intens menanyakan segala sesuatu, dan diakhiri dengan pesan agar memeriksakan diri di fasilitas kesehatan yang ditunjukkan. Sementara orang muda itu masih tekun dengan pengecatan, saya menanyakan kepadanya, “Kamu tahu, siapa yang sedang kamu elus-elus dan kamu cat lagi itu?” Dia menjawab, “Tidak tahu, Om,” sambil menggeleng lantas melemparkan pandangan matanya ke arah saya seperti menunggu jawaban saya. Lalu saya pun menjelaskan siapa sebenarnya Santo Yusuf itu. Dia memperhatikan penjelasan saya dengan sungguh-sungguh.

“Bapa Yusuf bukan hanya milik orang Katolik. Dia bisa menyembuhkan siapa saja berkat doanya kepada Allah. Ia sangat dekat dengan Allah sehingga permohonannya didengar Allah. Maka sambil kamu mengelus Bapa Yusuf, mengecatnya, merapikannya, mintalah sesuatu kepadanya. Dia akan menolongmu. Banyak yang sudah disembuhkan berkat pertolongan Bapa Yusuf. Orang yang sedang dalam sakrat maut menjelang ajal yang mohon pertolongannya juga diizinkan pergi dengan damai tanpa kesakitan,” terang saya agak panjang yang selalu ditanggapinya dengan anggukan kepala berkali-kali. Saya sendiri tidak tahu kenapa harus menjelaskan sebegitu panjang dan terang kepada anak muda yang bukan Katolik itu.

Pertama kali mengenal perupa muda itu, ketika ia datang ke rumah melihat kondisi awal patung. Tujuh hari kemudian baru kami berkomunikasi lagi soal teknis. Dibutuhkan waktu 8 hari untuk mereparasi, sehingga pekerjaan selesai pada hari ke-15. Pada hari ke-40 perupa itu mengeluh sakit dan oleh temannya ia dibawa ke sebuah rumah sakit. Karena sejak mengerjakan perbaikan patung ia tinggal di rumah kos kami, maka yang mengantar ke rumah sakit pada lewat tengah malam adalah anak kos yang ada di situ menggunakan mobil anak kami. Sekitar 2 jam mendapatkan penanganan dokter akhirnya dia tak tertolong, jiwanya pergi dengan damai. “Dia sangat tenang, tidak ada keluh kesakitan, wajahnya tidak menunjukkan ketakutan,” cerita anak kos yang mengantar dan menunggui saat-saat terakhirnya. Dialah yang mengurus semua dokumen yang diperlukan melakukan tindakan. Masalah belum selesai. Si pengantar menelpon anak gadis kami karena ia teman si perupa itu. Anak kos dan anak kami mengurus administrasi RS, menelpon keluarga di luar pulau, mencarikan cargo pengiriman jenazah, dsb. Bayangkan saja, anak-anak muda mengurus hal-hal begini tapi luar biasanya semua urusan terselesaikan dengan sangat baik, sangat dipermudah, biaya pun bisa murah. Akhirnya pagi hari itu juga anak kami mengantar jenazah sampai di bandara. Setelah memastikan jenazah sudah diterima dengan baik oleh pihak cargo penerbangan, pulanglah anak kami dengan penuh rasa syukur. Hampir tidak percaya urusan begitu lancar. Di rumah pada sore hari ketika kami bertiga berkumpul, saya mengingatkan anak kami bahwa temannya yang sakit itu rupanya dikirim untuk berjumpa dengan Santo Yusuf. Kebetulan ia juga menyambut cinta St. Yusuf. Maka diberilah ia kematian yang indah. “Kamu hitung, tidak? Jarak antara kamu mengenalkan dia kepada papa, lalu menggarap perbaikan patung St. Yusuf sampai saat ia sakit dan meninggal itu berapa hari?” Tanya saya kepada anak kami disaksikan mamanya. “Empat puluh hari,” jawab saya. Dan merekapun saling berpandangan tercengang mendengar jawabanku.

Senja itu tiba-tiba lonceng gereja berdentang. Kami membuat tanda salib dan mendoakan doa Malaikat Tuhan. Rangkaian doa bersahutan senantiasa kami daraskan ditingkah suara lonceng yang sangat jelas lantaran menara gereja hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah kami. Usai doa, ketika membuka mata, saya memandangi patung Bunda Maria dan Santo Yusuf yang memang kami tempatkan pada posisi di mana kami sering berdoa berdevosi bersama. Tanpa saya sadari, setitik air mata menetes dari ujung kelopak mata. Syukur bagi-Mu ya, Allah. Engkau berikan kami pengalaman iman yang indah. Kami akan terus berdevosi, saat terpenjara pandemi maupun ketika kebebasan telah Engkau anugerahkan kepada kami. ( EA/IJ)

 

Penulis:
Hendricus Handono Warih
(Pasutri Ningrum – Handono)
ME Distrik IV Surabaya
Paroki Santo Mikael
08123015462

 

 

Start typing and press Enter to search