Kekuatan Cinta Menyatukan Dalam Perbedaan

Sebelum menikah, Aku dan Inge melewati masa hubungan khusus selama tiga tahun. Saat itu, Aku dan Inge tidak punya banyak waktu untuk bertemu muka untuk saling mendalami, mengenal dan memahami karakter masing-masing. Bagi Aku dan Inge yang terpenting adalah saling mencintai meskipun ada perbedaan yang paling sensitif, yaitu keyakinan. Aku dan Inge menjalani hubungan jarak jauh untuk membangun ikatan cinta dalam priode ini. Selama menjalani masa ini, Aku tidak jarang merasa was-was, apakah hubunganku ini bisa berlanjut atau malah kandas, mengingat Aku dan Inge berjalan dengan perbedaan yang sensitive.

Aku dan Inge sempat putus hubungan saat itu dimana waktu itu Aku yang memutuskan hubungan secara sepihak. Tidak dipungkuri meskipun Aku dan Inge saling mencintai, tetapi perasaanku was-was. Aku merasakan pergumulan batin yang sulit kuredahkan. Aku merasa bersalah kepada orang tuAku dan Inge. Hatiku mengatakan, “kalau memang perbedaan ini nantinya akan menjadi masalah keluarga, mengapa Aku memberanikan diri untuk menjalin hubungan dengan Inge?” Itulah yang sering membebani pikiranku waktu itu, sampai akhirnya Aku memutuskan untuk menyudahi hubunganku dengan Inge, padahal Aku sangat mencintai Inge. Aku juga menceritkan hal ini kepada orang tuAku.

Setelah Aku putuskan hubungan itu, Inge mengalami depresi sampai dia harus dirawat di rumah sakit. Ketika Inge dirawat di rumah sakit, Aku dihubungi oleh mamanya Inge untuk memberitahukan bahwa Inge dirawat di rumah sakit karena tidak mau bicara dan tidak mau makan setelah Aku meninggalkan Inge waktu itu. Pada saat itu juga Aku berjanji kepada mama nya Inge untuk datang menemui Inge di rumah sakit. Aku sangat takut dengan kejadian ini, tetapi Aku harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Inge setelah Aku putuskan hubungan itu. Akhirnya Aku menemui Inge di rumah sakit dan Inge mulai mau bicara dan makan dengan Aku suapi. Aku memberi semangat kepada Inge dan berjanji untuk tidak meninggalkan Inge lagi. Aku sangat merasa bersalah kepada Inge.

Setelah itu, hubunganku dengan Inge terjalin kembali. Tetapi ada satu hari dimana Aku mengingkari janjiku kepada inge waktu itu untuk menemani inge pergi ke rumah neneknya, karena waktu itu Aku tidak bisa menolak ajakan orang tuaku untuk pergi bersama ke saudaraku. Aku merasa bodoh dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk Inge. Di sisi lain Aku juga harus mematuhi orang tuaku. Hari itu inge datang ke rumahku dan menemuiku dan orang tuaku. Dengan tegar inge bertanya kepadaku di depan orang tuaku, “apakah Aku masih mau melanjutkan atau menyudahi hubungan yang baru terjalin lagi itu”. Aku mejawab bahwa Aku mau melanjutkan hubungan. Saat itu Aku merasa bahwa jawabanku itu pasti mengecewakan orang tuaku.

Setelah itu, hubunganku dan Inge semakin dekat dan Aku merasakan cinta yang lebih kuat karena Aku merasa ada sedikit harapan bahwa orang tuaku merestui hubungan ini. Dan sampailah Aku dan Inge untuk merencanakan pernikahan. Aku dan Inge merasa bahwa pasti akan ada rintangan yang akan Aku dan Inge hadapi yaitu ketika Aku meminta ijin ke orang tuaku untuk menikahi Inge karena masih adanya perbedaan yang sensitif itu.

Pada akhirnya orang tuaku meyetujui rencana itu, tetapi dengan permintaan agar Aku dan Inge tidak ada perbedaan itu agar supaya pernikahan itu bisa terjadi. Aku sadar bahwa ini akan berat dan membuat inge sedih, kecewa dan terluka hatinya. Dan pasti juga akan sangat melukai hati orang tua Inge karena Inge adalah anak perempuan satu-satunya. Akhirnya Inge berkorban dengan meninggalkan apa yang diyakininya selama ini untuk manjadi satu keyakinan dengan Aku seperti apa yang diinginkan orang tua ku. Aku sangat memahami bahwa itu tidak mudah bagi Inge untuk menjalani keyakinan baru, karena Inge adalah seorang yang taat dan religius dengan keyakinan sebelumnya.

Aku dan Inge menikah pada pertengahan 2001 dan tinggal jauh dari keluarga besar. Di awal kehidupan pernikahan ini, Aku dan Inge sangat menikmati kebersamaan dengan bahagia dan penuh pesona meskipun harus tinggal di rumah kontrakan kecil di Jakarta. Setahun setelah Aku dan Inge menjalani kehidupan pernikahan, lahirlah Tifani dan empat tahun kemudian lahirlah Abel. Kehadiran Tifani dan Abel membuatku semakin bahagia dan semangat. Tetapi Aku juga merasa galau karena memikirkan nilai-nilai mana yang harus Aku pilih untuk membimbing Tifani dan Abel untuk mengenal dan menanamkan keyakinan kepada Tuhan.

Ketika menjalani keyakinan baru selama enam tahun, Inge juga mengalamai pergumulan dan merasa tidak ada kedamaian dalam hatinya. Selain itu Inge juga masih menyimpan trauma atas peristiwa dimana Aku pernah meninggalkan Inge sebelumnya. Inge merasa kuatir kalau suatu saat Aku akan meninggakannya lagi. Inge sering mengungkit peristiwa itu di depanku, Inge sering marah dan tidak jarang itu dilampiaskan kepada putri kecil buah kasihku dan Inge yaitu Tifani yang saat itu berusia lima tahun. Aku merasa Inge belum bisa mempercayaiku. Aku bisa memahami perasaan inge dan Aku hanya bisa mendengar, menerima dan sabar menghadapi kemarahan Inge.

Akhirnya, Inge mencoba jujur ​​dan berdialog dengan Aku untuk menyampaikan bahwa Inge sangat rindu untuk bisa menerima Tubuh Kristus lagi sesuai dengan yang Inge yakini. Inge ingin mendapatkan kedamaian yang tidak Inge rasakan selama menjalani kesamaan keyakinan denganku. Aku menghormati keinginan Inge tersebut, karena Aku merasa itu adalah bagian perjalan pribadi inge dengan Tuhan. Sejak saat itu Aku bisa menerima perbedaanku dan inge. Aku dan Inge saling menghormati perbedaan itu dan mendorong pertumbuhan yang positif. Di hari-hari tertentu Aku dan Tifani dan Abel selalu menemani Inge beribadah. Tetapi Aku juga tidak memungkiri bahwa waktu itu masih ada sedikit perasaan kecewa karena harus ada perbedaan lagi. Seiring bertambahnya usia Tifani, Aku bisa menepis perasaan kecewa itu secara perlahan. Aku dan Inge harus menciptakan lingkungan yang positif untuk pertumbuhan Tifani dan Abel.

Enam tahun pertama pernikahan, Aku dan Inge merasa mempunyai keluarga kecil, merasakan cinta dan hati yang murni tanpa adanya campur tangan pihak luar termasuk dari pihak orang tuaku dan orang tua Inge. Inge juga menemaniku berpuasa dan mengunjungi orang tuaku di bulan tertentu. Tifani kadang-kadang juga menanyakan perbedaan ini dengan gaya bertanya yang polos. Aku dan Inge berusaha memberi gambaran kepada Tifani bahwa perbedaan ini bukanlah masalah dan berasal dari Tuhan. Aku dan Inge merasa lebih bahagia dan lebih saling mengasihi satu sama lain.

Aku dan Inge juga pernah mengikuti kursus persiapan pernikahan meskipun sudah menjalani kehidupan pernikahan. Aku dan Inge jadi mengerti untuk apa pernikahan dan mengapa pernikahan itu adalah suatu panggilan.

Seiring berjalannya waktu, Aku dan Inge harus menghadapi konsekuensi untuk siap menerima penentangan dari orang tuaku karena kembalinya Inge ke keyakinan asalnya. Aku memberitahukan hal ini kepada orang tuaku dan Inge juga memberikan pengakuan langsung di depan orang tuaku. Aku bisa merasakan kesedihan dan kekecewaan orang tuaku setelah mendengar hal ini. Orang tuaku menganggap Inge sudah mempermainkan iman. Inge sendiri juga memahami perasaan sedih orang tuaku, tetapi setidaknya, Inge sudah berkata jujur, meskipun pada akhirnya harus menghadapi perubahan sikap dari orang tuaku. Setelah itu memang ada dorongan dari orang tuaku yang meminta Aku dan Inge bercerai karena perbedaan ini tidaklah baik bagi keluarga besarku. Tetapi Aku tetap memutuskan untuk tetap bersama dengan keluarga kecilku, karena Aku tetap harus bertanggung jawab dan tidak bisa melepaskan Inge, Tifani dan Abel.

Aku merasa bahwa periode ini merupapakan periode terberat dan paling membebani perasaan dan pikiranku dalam kehidupan pernikahanku dengan Inge. Aku sering merasa tertekan karena harus melibatkan pikiran dan perasaan untuk menghindari konflik apa pun yang bisa saja terjadi. Aku berharap tidak ada yang pihak yang terluka perasaannya, terutama Ibuku, Inge, Tifani dan Abel. Bagiku, keluarga kecilku harus tetap tumbuh secara positif meskipun ini tidak mudah.

Aku dan Inge juga menjalani fase dimana Aku dan Inge mulai membatasi ruang dan waktu untuk berbicara tentang perbedaan yang sensitif ketika mengunjungi keluarga besarku. Hal Ini untuk menghindari pertanyaan tentang relasi dengan Tuhan dan hal-hal yang sifatnya sensitif. Situasi ini berlangsung beberapa tahun sampai akhirnya orang tuaku tidak pernah lagi menanyakan hal itu.

Periode dengan komunikasi terbatas ini sangat mempengaruhi kehidupan relasiku dengan Inge. Pernah ada satu kesempatan dimana Aku mengunjungi orang tuaku tanpa ditemani oleh Inge karena Inge pernah tersinggung dengan sikap orang tuaku. Aku tidak mempermasalahkan hal ini, karena Aku sangat mengerti perasaan orang-orang yang Aku cintai ini. Aku harus menjaga perasaan Ibuku dan perasaan Inge. Bagiku, perbedaan itu akan tetap ada, tetapi yang paling penting adalah kelangsungan kehidupan pernikahanku dengan Inge dan tetap menjaga rasa hormat kepada orang tua. Periode ini banyak melibatkan kesabaran dan emosi, tetapi justru Aku dan Inge merasa semakin intim dalam berelasi, baik relasi dalam keluarga kecil maupun relasi dengan orang tuaku. Aku baru menyadari bahwa Aku dan Inge bebas dan lebih berhak  menentukan arah perjalanan kehidupan keluarga kecilku daripada pihak lain di luar keluarga kecilku.

Aku dan inge menyadari bahwa sebagai manusia perlu hidup dengan orang lain atau berkomunitas. Inge proaktif mencari komunitas yang bisa melibatkan pasangan. Akhirnya inge menemukan Weekend Marriage Encounter (WEME). WEME mengenalkan Aku dan Inge bagaimana mendukung dan mendorong sikap hidup yang akrab dan bertanggung jawab, pernikahan harus menjadi sumber sukacita dan vitalitas yang mendalam. Kehidupan pernikahan perlu secara terus menerus disesuaikan, diaktifkan kembali, dan diremajakan untuk meningkatkan kehidupan dan tumbuh bersama. Di WEME Aku dan Inge juga bisa berbagi dan belajar dari pengalaman hidup pasangan lain yang bisa mempererat relasi dan menjadi berkat bagi pasangan lain. Dan yang tidak kalah penting, WEME telah membuat Aku dan Inge melihat bahwa pasangan adalah hadiah dari Tuhan yang unik dan teman seumur hidup. Dari perbedaan, Aku dan Inge belajar lebih sabar, lebih mencintai, lebih terbuka dan lebih menghormati satu sama lain.

Sharing selama pohon keluarga, Aku dan Inge bisa saling mengungkapkan perasaan sampai berurai air mata. Perasaanku menjadi lebih legah setelah itu. Setelah mengikuti WEME, Aku dan Inge bisa lebih menikmati kebersamaan dalam melakukan kegiatan sebagai pasangan. Tifani dan Abel selalu mendukung Aku dan Inge melakukan kegiatan dengan pasangan. Aku dan Inge merasa lebih terbuka satu sama lain, Aku merasakan cinta dan kasih yang lebih besar dari Inge dan Aku lebih suka menghabiskan waktu dengan saling bicara berdua.

Aku dan Inge percaya bahwa Tifani dan Abel akan melihat apa yang telah Aku dan inge lakukan dalam kehidupan pernikahan. Aku berharap ini menjadi panutan bagi Tifani dan Abel. Aku dan Inge selalu berusaha menerapkan prinsip hidup pernikahan yang sehat dalam hidup keseharian dan menjadikannya satu kebiasaan. Sebagai orang tua, Aku dan Inge tidak lupa terus mendoakan kebaikan Tifani, Abel dan keluarga. Aku telah belajar bahwa rasa hormat, berbagi, syukur, kesetiaan, pengampunan dan rekonsiliasi adalah nilai-nilai penting bagiku dan Inge dalam mejalani kehidupan pernikahan.

Atas berkat dan rahmat Tuhan, Aku dan inge terpilih untuk mewakili komunitas di acara World Meeting Of Family (WMOF) ke-10 di Vatikan. Aku dan Inge diminta sebagai salah satu pembicara untuk memberikan kesaksian tentang pengalaman pendampingan rohani bagi pasangan yang salah satu pasangannya  dalam keyakinan yang berbeda. Kondisi ini sangat umum dalam keluarga di seluruh dunia saat ini. Bagaimana Aku dan Inge diharapkan dapat menginspirasi keluarga-keluarga ini merasa menjadi bagian dari komunitas Gereja dan menjalankan Sakramen Perkawinan dengan penuh harapan. Aku dan Inge merasa sangat terberkati karena bisa berbagi pengalaman, kasih dan menginspirasi keluarga lain. Aku dan Inge juga merasa bahagia bisa mengenal keluarga lain dari berbagai negara dan budaya dengan perjalanan hidup masing-masing yang menjadi inspirasi bagi Aku dan inge.

Kekuatan Cinta mendorong Aku dan Inge untuk berani berdialog, diluar batas aman. Yag tadinya takut membicarakan perbedaan, tetapi Aku dan Inge telah mengambil langkah berani untuk saling terbuka dan jujur.  Akhirnya Aku dan inge bisa saling memahami perasaan masing-masing yang terdalam dan akhirnya mendekatkan satu sama lain dan melegakan. Kekuatan cinta juga menyatukan dan membawa perdamaian. Saat ini Aku dan Inge telah menjalani 21 tahun kehidupan pernikahan, kehidupan yang harmonis untuk terus menebarkan kedamaian, cinta untuk saling melayani di depan Tifani dan Abel dan orang tua dalam perbedaan. Nilai yang Aku tanamkan kepada Tifani dan Abel, bahwa pasangan hidup telah ditunjuk oleh Tuhan sejak awal kehidupan. Mencintai dan dicintai adalah anugerah Tuhan. Selalu mengandalkan Tuhan dalam kehidupan sebelum dan sesudah menikah. Aku dan Inge percaya bahwa perbedaan bukanlah halangan bagi seseorang untuk mencintai seseorang dan dicintai oleh seseorang karena pada akhirnya semua adalah atas kehendak-Nya.

 

We Need You We Love You
Jakarta, 18 Mei 2022

TAUFIQ INGE

Start typing and press Enter to search