Mewartakan Kasih Tuhan dengan Sukacita
Where there is love, there is God – Ketika ada kasih, Tuhan pasti hadir. Sebuah kalimat yang muncul di beranda WA-ku dan sangat mengusik tidurku dalam beberapa hari. Betapa tidak! Menginjak usia perkawinan kami yang mendekati usia perak, banyak hal yang bermunculan di dalam hati dan pikiran – yang sayangnya tak terjawab dengan mudah. Khususnya sebagai tim ME dan Staff Komkel Keuskupan yang selama ini banyak melayani di berbagai tempat/pulau yang terpisahkan lautan. Benarkah selama ini kami melayani dengan kasih? Ataukah sekedar menjalankan kewajiban saja? Atau jangan-jangan sebenarnya kami melakukannya dengan terpaksa, apalagi ketika menjadi kordis tentunya harus bisa menunjukkan tanggung jawab kepada komunitas atau memberikan laporan dalam sidang Denas dan sebagainya? Lalu… benarkah Tuhan sendiri hadir dan menyertai pelayanan kami tersebut? Jika demikian kenapa kadang ada kelelahan dan kejenuhan di dalam diri kami? Bahkan tak jarang ada juga pandangan sinis, ketidakkompakan, kesalahpahaman dan sebagainya. Kalau memang Tuhan ikut serta di dalamnya kenapa tak jarang harus mengalami penolakan juga? Kenapa Tuhan membiarkan semua itu terjadi?
Pada akhirnya, berbagai pertanyaan yang tak terjawab itu kadang membuat hati menjadi lemah. Pelayanan seolah menjadi sebuah rutinitas yang melelahkan jiwa dan raga. Dalam situasi seperti itu kadang terpikir: Ach sudahlah … kenapa kita harus capek-capek melayani, bukankah lebih baik di rumah saja mengurus diri sendiri dan keluarga. Toh masih banyak yang lebih mampu dari pada kami.
Tetapi puji Tuhan, seiring perjalanan waktu kami pun menemukan sebuah makna. Jawaban tak terduga dari kegalaun itu justru datang ketika mengikuti sebuah retret. Dalam retret itu kami mendapatkan kenyataan bahwa keberadaan setiap orang (baca: manusia) tidak pernah lepas dari cinta/kasih. Kita semua lahir karena buah-buah kasih dari orangtua masing-masing. Kemudian bertumbuh dalam asuhan kasih hingga akhirnya seseorang bisa hidup mandiri. Betul bahwa ada situasi-situasi tertentu yang mungkin dirasakan bahwa seseorang mengalami ‘sedikit’ kasih sayang dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Namun bahwa ia kemudian bisa bertahan, tumbuh dan berkembang pasti karena ada tangan-tangan yang penuh kasih menopangnya – pun jika itu bukan dari kedua orangtuanya. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan seseorang tidak pernah lepas dari cinta. Bahkan kalau toh ‘diangap’ tidak pernah merasakah cinta dari sesamanya – pastilah kita menyakini bahwa cinta Tuhan lah yang menopang kehidupannya. Di akhir retret, seorang pastor pembimbing menegaskan bahwa hanya karena Kasih Tuhan lah saat ini setiap peserta bisa hadir dan mengikuti retret ini. “Tuhanlah yang memilih dan memanggil kita semua. Saat ini – dimana kita harus kembali pulang ke tempatnya masing-masing dan tak ada pilihan lain kecuali membawa cinta kasih Tuhan itu lalu membagikannya kepada sebanyak mungkin orang. Tuhan memilih, memanggil dan mengutus kita semua.”
Sepulang dari retret, kami sengaja meluangkan waktu sejenak. Mencoba merenungkan kembali perjalanan kehidupan pribadi masing-masing. Mulai dari masa kecil di keluarga, bersama papa mama dan saudara-saudari. Lalu masa sekolah dan bekerja hingga akhirnya kami berdua dipertemukan lalu memutuskan berjanji setia dalam ikatan perkawinan.
Dalam perjalanan selanjutnya kami juga dipertemukan dengan Komunitas ME melalui sebuah retret akhir pekan (weekend ME). Satu yang masih terus melekat dalam pikiran dan hati adalah kalimat: mencintai adalah keputusan. Ketika kata cinta sudah diucapkan di sanalah ada sebuah perjalanan panjang. Ada liku-liku yang harus dijalani tapak demi tapak. Ada perjuangan yang menuntut kesetiaan dan keiklasan. Perjalanan selalu mengarah ke depan dan tak mungkin untuk berbalik lagi. Keputusan untuk mencintai mengandaikan menerima segalanya tanpa syarat, tak ada kata mundur dan menyerah – pun ketika situasi mungkin tak seperti yang diinginkan. Semuanya akan menjadi lebih indah manakala kita tetap setia dan berjuang bersama orang yang kita cintai yaitu pasangan yang telah diberikan Tuhan kepada kita.
Dari pengalaman retret dan weekend ME, pada akhirnya kami harus menyadari bahwa mengadalkan kekuatan diri sendiri tak akan mampu melakukan banyak hal. Tuhan telah memberikan seorang penolong – yaitu pasangan yang selalu hadir dan menemani dari hari ke hari. Tuhan yang telah mempertemukan kami dan meyatukan dalam cinta kasih. Selanjutnya Tuhan mengutus kami berdua untuk melayani sesama dalam namaNya. Komunitas ME menjadi salah satu wadah sekaligus sarana bagi kami dan pasangan lain untuk berjalan bersama menghidup cinta dan membagikannya kepada semua orang.
Menyadari semua itu, pada akhirnya kegalauan yang kami alami di awal sharing diatas lambat laun sirna. Berbagai keraguan, kendala, hambatan dan sebagainya tetaplah kami hadapi tetapi bukan untuk menjadikan kami lemah atau berhenti dalam pelayanan berdua.
Semakin jauh melangkah kami menyadari sepenuhnya bahwa Tuhan sendirilah yang mempertemukan, mempersatukan dan mengutus kami berdua. Dengan keyakinan inilah kami sampai saat ini terus berusaha melayani berdua sebagai pasangan dengan penuh sukacita. Setiap kali ada tugas berdua misalnya memberikan weekend ME atau tugas-tugas Komkel Keuskupan (yang mengharuskan pergi berdua sebagai pasutri) kami berusaha menjalaninya sebaik-baiknya. Segalanya kami serahkan kepada penyertaan Tuhan manakala kami harus meninggalkan anak-anak di rumah, meninggalkan pekerjaan dan sebagainya. Dan puji Tuhan, manakala kami pulang dari tugas luar daerah itu kami menemukan banyak cerita: anak-anak bisa tetap aman dengan bantuan saudara-saudara; Rekan-rekan kerja juga mengerti dan ada beberapa tugas yang bisa mereka tangani; Tak jarang tetangga-tetangga mengantar makanan untuk anak-anak ketika kami tinggalkan. Rekan-rekan sekomunitas ME juga memberikan suport dengan mengantar jemput kami ke bandara, menjadi house couple dan sebagainya. Semuanya bisa berjalan lancar dan kami rasakan sebagai ‘baik-baik saja’. Di situlah pada akhirnya kami pun berani mengatakan bahwa ketika segala sesuatu kita lakukan dengan penuh kasih dan keiklasan sesungguhnya di situlah Tuhan hadir. Memperlancar segala urusan, memberikan perlindungan, memberikan jalan terbaik yang tentunya dengan cara yang kadang tak terduga sebelumnya. Apa yang kami lakukan pastilah tidak pernah sempurna namun demikian biarlah Tuhan sendiri yang hadir dan menyempurnakan segalanya.
Kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. … dan kasih tidak berkesudahan. Penggalan kalimat dari kitab pertama kepada umat di Korintus ini kiranya menjadi inspirasi kami sehingga benar-benar tulus dan penuh kasih dalam menjalankan pelayanan. Kiranya Tuhan sendiri yang hadir menyertai kami dan menyempurnakan ketidak sempurnaan kami. Hanya dengan demikian semoga kami berdua tetap dimampukan untuk mewartakan kasih Tuhan dengan sukacita. Semoga! (IH/)
(Sulist Milla).