Pengampunan, Jalan kepada Pemulihan Relasi

Inspirasi Keluarga Kudus

Pengampunan, Jalan kepada Pemulihan Relasi
(DMD Marriage Encounter)
oleh Romo Hartono, MSF

 

Pengantar

Keluarga dibentuk oleh kehendak bebas suami isteri yang berkomitmen untuk membentuk kebersamaan dalam hidup mereka. Suka duka, menangis tertawa dilewati bersama-sama sepanjang jalan hidup mereka.

Namun perlu disadari bahwa persatuan itu dilakukan oleh dua pribadi yang berbeda, sehingga proses belajar dalam keluarga berlangsung seumur hidup. Bersama-sama. Karena didasarkan pada perbedaan inilah, seringkali terjadi kesalahpahaman yang membuat suami isteri seringkali saling melukai.

Paus Fransiskus mengatakan,” Tidak ada keluarga yang sempurna. Kita tidak punya orangtua yang sempurna, kita tidak sempurna, kita tidak menikah dengan orang yang sempurna, kita juga tidak memiliki anak yang sempurna.

Kita memiliki keluhan tentang satu sama lain. Kita kecewa  satu sama lain. Oleh karena itu tidak ada pernikahan yang sehat atau keluarga yang sehat tanpa pengampunan”.

Pengalaman sakit dan disakiti: Belajar dari Keluarga Kudus

Ketika Yesus ditemukan di Bait Allah sesudah tiga hari tidak diketemukan oleh orangtuanya (Lukas 2,41-52), Yusuf dan Maria menemukan Dia di Bait Allah, berada di tengah alim ulama dan sedang berdiskusi dengan mereka. Ketika berjumpa dengan anaknya, Yusuf dan Maria sebagai orangtuanya mendialogkan perasaan mereka kepada-Nya, dengan berkata, “Nak, mengapa engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” Perasaan kecemasan dan kekuatiran yang khas sebagai orangtua yang sangat mencintai anaknya.

Tanggapan dari Sang Anak membuat mereka merenung, karena bukan pelukan dan tangisan atau penyesalan yang dinyatakan oleh Yesus, namun sebuah penegasan, “ Mengapa kamu mencari aku? Tidak-kah kamu tahu bahwa aku harus berada di rumah Bapaku?

Reaksi sebagai orangtua normal pasti akan marah dan terluka dengan kata-kata anaknya. Namun dalam kitab suci, reaksi orangtua atas jawaban Yesus hanya menyatakan bahwa “Yusuf dan Maria tidak mengerti akan apa yang dikatakan Yesus. Selanjutnya sikap Maria adalah: menyimpan dalam hati dan merenungkannya”.

Pasti pengalaman ini bagi orangtua bukan pengalaman yang diharapkan. Siapapun orangtua akan kecewa dan marah. Bagaimana tidak! Dalam kecemasan, kekuatiran dan kelelahan setelah tiga hari mencari anaknya yang hilang, tanggapan yang disampaikan dari anaknya di luar dugaan. Kata-kata yang keluar dari seorang anak bisa dikatakan menyakitkan bahkan seperti kata-kata seorang anak yang durhaka dan tidak tahu berterima kasih kepada orang tuanya.

Namun, bagi Yusuf dan Maria, apa yang disampaikan Yesus direnungkan sehingga mereka lama-lama memahami apa yang menjadi isi hati anaknya.

Sebenarnya jawaban Yesus – kalau menurut tradisi dalam Kitab Suci -, adalah sebuah penyadaran kepada orangtuanya bahwa ketika seorang anak berumur 12 tahun, dia disebut Bar Mitsvah atau anak Taurat. Dengan demikian, usia kedewasaan adalah usia 12 tahun. Dalam Bahasa sederhana, jawaban Yesus bisa dibahasakan demikian,” Ibu, bapa, bukanlah aku sudah dewasa. Dan dalam usia dewasa, aku ini anak Taurat dan rumahku ya di bait Allah”. Begitu kira-kira….

Ketidak-mengertian satu sama lain atau bisa disebut kesalahpahaman ini sering terjadi dalam keluarga. Kita sering tidak mengerti maksud pasangan atau anak anak kita. Sikap saling menyakiti bisa saja bermuara pada ketidakmampuan kita dalam memahami pikiran dan isi hati satu sama lain. Tidak aneh pemicu perselisihan dalam keluarga adalah karena satu sama lain tidak memahami apa yang diinginkan pasangannya dan lebih mengedepankan reaski spontan yang diwarnai oleh egonya sendiri.

Kurangnya kita bersikap diam dan mendengarkan untuk mencerna maksud, pikiran dan isi hati pasangan dan anak anak kita membuat kita sering salah paham. Kita lebih sering menunjukkan reaksi spontan kita daripada bersikap tenang dan berpikir jernih lebih dulu sebelum kita berkata dan bertindak.

Pengalaman ini membuat relasi satu sama lain bisa retak dan perasaan satu sama lain terluka. Kita dalam keluarga juga mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan entah dari anak atau dari pasangan. Pengalaman ini membuat kita terluka dan pada gilirannya satu sama lain akan saling melukai. Orang yang paling dalam melukai kita adalah orang yang paling kita cintai dan sayangi. Pasangan, anak, adalah orang orang terdekat yang kita cintai tetapi sekaligus akan meninggalkan bekas luka yang mendalam ketika dengan sadar atau tidak melukai perasaan kita. Antara marah dan sayang, benci dan cinta, perasaan terluka akan semakin mendalam kita rasakan.

Dalam situasi yang gelap karena perasaan terluka, sikap seperti Bunda Maria sangat diperlukan: diam dan merenungkan dalam hati. Diam dan merenungkan dalam hati berarti ada waktu dalam diri untuk hening, berdoa dan merefleksikan hidup. Apakah aku yang kurang memahami pasanganku, atau sebaliknya pasanganku yang tidak paham dengan apa yang aku sampaikan. Kalau hal itu terjadi, perlu sebuah dialog yang membuat segala sesuatunya menjadi jelas dan terang benderang.

 

Mengusap luka dengan pengampunan

Rasa sakit adalah racun yang membunuh diri kita kalau lama dibiarkan. Hidup menjadi tidak tenang dan tidak bahagia karena seluruh diri dikuasai oleh kemarahan dan kekecewaan. Kalau kita tetap mempertahankan luka hati di dalam diri, itu hanya akan merusak diri sendiri.  Sebenarnya kita diajak untuk memilih, mengampuni atau membiarkan kemarahan terus memenuhi hidup kita. Memang tidak mudah karena memerlukan proses. Namun dengan pilihan untuk mengampuni, sebenarnya kita tidak hanya membebaskan orang lain dari rasa bersalah. Sebaliknya, kita sedang mengobati diri kita sendiri sehingga menjadi sembuh. Dengan mengampuni, kita memiliki ketenangan jiwa dan persekutuan dengan Allah.

Paus Fransiskus mengatakan,” pengampunan adalah penting untuk kesehatan emosional kita dan kelangsungan hidup spiritual. Tanpa pengampunan, keluarga menjadi sakit”. Keluarga menjadi sakit karena kedamaian tidak bisa tercipta karena ada ganjalan yang terus menerus menghantui. Baik yang menyakiti maupun yang disakiti sama sama memendam beban yang tidak mudah. Satu satunya jalan adalah berani untuk mengampuni meski hal itu juga tidak mudah. Sama sama memiliki beban yang sulit dipikul karena yang tersakiti merasa dikhianati dan dijatuhkan harga dirinya; sebaliknya yang menyakiti akan menanggung beban yang sulit dilepaskannya, yakni rasa bersalah.

Meski tidak mudah dan butuh proses, pengampunan menjadi jalan yang akan menghapus setiap luka yang terjadi bagi bagi yang disakiti maupun yang menyakiti. Mengutip ungkapan indah dari Paus Fransiskus, beliau  menyatakan, ”Keluarga harus menjadi tempat kehidupan dan bukan tempat kematian, tempat penyembuhan dan bukan tempat penuh dengan penyakit; panggung pengampunan dan bukan panggung rasa bersalah.

 “Diam, Merenungkan dan Mendialogkan” :  Jalan untuk Saling memahami  dalam Komunitas Marriage Encounter

 

Sikap Bunda Maria dan Santo Yusuf untuk diam dan mendengarkan menjadi jalan bagi keluarga untuk menghindari sikap saling menyakiti yang muncul dari ketidakmampuan kita memahami satu sama lain. Kita sadar bahwa meskipun kita sudah menyatu dalam perkawinan dan hidup dalam sebuah rumah tangga bertahun-tahun, ada pengalaman bahwa kita belum bisa seutuhnya memahami pasangan dan anak anak kita. ini terbukti dari fakta bahwa selalu ada perselisihan di dalam keluarga.

Dari kenyataan tersebut, kita sadar bahwa hidup perkawinan adalah proses belajar seumur hidup. Menjadi proses belajar sampai maut menjemput, karena sejatinya orang yang kita cintai dan kita pilih sebagai pasangan hidup kita adalah pribadi yang unik, yang berbeda dengan kita dengan segala kelebihan dan kekurangan. Kita dan pasangan serta anak anak adalah pribadi yang berbeda, tidak sempurna, namun disatukan untuk saling menyempurnakan. Untuk bisa  sampai pada sebuah kehidupan keluarga yang harmonis, sikap seperti Bunda Maria: “Diam dan menyimpan dalam hati untuk merenungkannya” menjadi modal bagi kita untuk bisa saling memahami satu sama lain, sehingga sikap saling melukai tidak terjadi lagi. Dalam Marriage Encounter sikap Bunda Maria harus ditambah: Diam, Merenungkan dan Dialogkan  (DMD ME) agar kehidupan keluarga semakin harmonis dan kesalahpahaman yang menjadikan luka satu sama lain bisa dikikis.

Keluarga Kudus Nazareth: Yesus, Maria, Yusuf, berkatilah Keluarga kami.

BPS:

Selama hidup bersama dalam perkawinan dan keluarga, entah sadar atau tidak, kita merasa belum seutuhnya memahami pasangan/anak kita. Ketidakmampuan dalam memahami pasangan kita, seringkali menimbulkan masalah. Berawal dari salah paham lalu memuncak pada perselisihan, yang membuat kita saling melukai satu sama lain.

Dalam situasi seperti ini, apa yang kita lakukan?

  • Seperti Maria dan Yusuf, mencoba untuk diam dan merenungkan agar kita semakin memahami atau bereaksi secara spontan dan mendiamkan pasangan/anak?
  • Kalau terjadi situasi dimana kita saling melukai satu sama lain, kita mudah mengampuni melalui dialog atau memendam kebencian dan mendiamkan? (IH/WN)

Start typing and press Enter to search