Belajar Setia Sampai Akhir, Refleksi Pribadi Jalan Sehat Nusantara

Pagi masih menyisakan dinginnya malam. Kumandang azan subuh baru saja berlalu. Di depan kendaraanku yang siap meluncur, aku masih sempat menengadah ke atas, memandang bulan sabit yang masih enggan tenggelam, ditemani sebuah nyala bintang panjer enjing. Bak perahu emas berlayar di segara mega, tanggal empat bulan Sura, penanggalan Jawa, itu setara dengan 23 Juli 2023 Masehi, hari Minggu Kliwon.
Tatkala menikmati indahnya pemandangan langit bertabur benda angkasa, seketika anganku memunculkan kisah kitab Genesis , kitab yang membuka jalan bagi kakiku untuk melangkah di atas permadani iman. Getar keyakinanku membisikkan, ada Tuhan di sana, di atas batas atmosfer. Ia yang mencipta dengan sabda benda-benda penerang pada hari keempat dari rangkaian kisah penciptaan itu, sorot mata-Nya memandang jeli ke makhluk-makhluk di bumi. Aku merasa, dari atas sana Sang Pembuat Rembulan memandangiku dengan saksama dan penuh cinta.

Senam Aerobik sebagai pemanasan

Bersama pasangan aku segera berkendara, berkaos biru berstempel merek sponsor dan tulisan “Jalan Sehat Nusantara”. Ya, kami mesti datang lebih awal dari para peserta . Senyum dan sapaan hangat pun mulai bertebaran semenjak kami turun dari kendaraan. Dalam beberapa saat saja lapangan telah berubah menjadi lautan biru manusia, biru cerah dari pakaian yang dikenakan.

Hari itu komunitas Marriage Encounter (ME) Distrik IV Surabaya, berpartisipasi menyelenggarakan jalan sehat. Acara yang dihelat di area seputaran Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya ini menjadi bagian dari acara Jalan Sehat Nusantara bersama acara serupa yang diselenggarakan ME, secara serentak di seluruh distrik dan wilayah seluruh Nusantara. Di Surabaya seribu pasutri (pasangan suami istri) mengikuti jalan sehat ini. Tidak ketinggalan orang muda termasuk dari gerakan Choice, beberapa suster biarawati serta pastor ada di tengah-tengah mereka. Bahkan Vikaris Jendral Keuskupan Surabaya RD. Yosef Eko Budi Susilo sendiri yang mengibarkan bendera start memberangkatkan rombongan peserta kegiatan ini.

Mengupayakan agar tubuh tetap sehat merupakan tugas kita semua. Sejak diciptakan, manusia sempurna keadaannya. Ia diperlengkapi dengan jasmani yang sehat, rohani yang berakal budi sehingga ia mampu menemukan Tuhan Sang Penciptanya. Dengan tubuh yang tetap sehat manusia bisa melakukan tugas-tugasnya di dunia dengan baik, yakni mencintai sesamanya. Begitulah cara pandang pribadi-pribadi yang tergabung dalam gerakan ME menanggapi aktivitas jalan sehat ini.

“Tadi sebelum jalan sehat, panitia mengajak peserta melakukan pemanasan dengan melakukan senam bersama,” kata seseorang yang tampak mengenakan kalung name tag panitia. Memang benar, sejak lagu-lagu bernuansa gembira dikumandangkan dari atas panggung, suasana sukacita kental terasa. Ada yang bersorak, berteriak, dan bergerak mengikuti musik rancak. Suasana seperti inilah yang senantiasa menyelimuti hati para pasutri ME. Mereka terus berusaha menghangatkan relasi kepasutrian dan menularkannya kepada pusutri-pasutri lainnya. Dengan tubuh yang sehat memungkinkan pasutri melayani sesamanya melalui berbagai kegiatan.

Langkah-langkah perlahan berderap, ditingkah cerita sukacita satu orang kepada kawan terdekat, yang dalam perjalanan mendadak menjadi sahabat. Senyum dan tawa tak pernah terlepas dari bibir, saling sapa dan memuji senantiasa terdengar alih-alih melepas kata nyinyir. Sementara dari balik awan tipis, matahari mulai menebar sinar. Hangatnya menembus kulit menyusup ke persendian. Seperti subuh tadi ketika aku melihat rembulan yang juga melihat Tuhan, saat ini ketika aku melihat matahari, aku pun melihat Dia. Dari atas sana Sang Pembuat Matahari memandangi kami, segerombolan peserta berkaos biru. Ia memandangi pula rombongan di lain kota dan lain pulau. Peserta Jalan Sehat Nusantara seantero Indonesia tak lepas dari mata Tuhan. Dari lokasi masing-masing, kami berjalan bersama mengupayakan tubuh jasmani tetap sehat, jiwa rohani dalam keimanan yang semakin mantap. Sungguh kami merasakan, kami berjalan bersama Yesus.

Aku bersama rombongan kecilku sempat menyusul sekelompok keluarga lengkap. Ada kakek, ada nenek, ada ayah dan bunda bersama seorang kanak-kanak dan seorang balita. Ada canda di antara mereka. Ada tawa, ada senyuman, ada sapaan, ada pula nyanyian. Derap langkah mereka berbaur degup jantung dan detak nadi. Hela dan hembus nafas lansia menggambarkan usianya namun senantiasa melagukan syair cinta. Sungguh, semangat dan kebersamaan dalam keluarga dan komunitas menguatkan manusia-manusia berusia lanjut untuk menyelesaikan titian langkah pada jalan yang cukup panjang. Apa hendak dikata, terpaan sinar ultra violet dan infra red memaksa tubuh mengucurkan keringat hingga melemahkan. Akhirnya keluarga itu berputar balik memotong jalan untuk bisa segera menyelesaikan perjalanan. Aku membalas lambaian tangannya dengan tetap menyungging senyuman dan mengacungkan jempol tangan tanda apresiasiku pada usahanya.

Terus Menapak dengan Setia walaupun Usia Menjelang Senja

Aku meneruskan perjalanan dalam baluran cairan keringat di sekujur badan. Dalam refleksiku aku membayangkan Yesus yang bersemayam di atas sana, memandangi satu per satu umat-Nya. Pun umat yang kembali sebelum titik putar. Ia yang Maha Cinta itu tetap mencintai kami yang baru saja berangkat langsung kembali. Ia yang Maha Kasih tetap mengasihi kami yang separuh perjalanan sudah kembali. Ia yang Maha Bijaksana tetap menemani kami yang dikaruniai kekuatan untuk menyelesaikan perjalanan sampai akhir. Semua akan sampai pada garis penyelesaian yang membahagiakan. Dalam perjalanan ini aku memilih terus menyelesaikannya sampai ujung akhir, titik di mana kami harus berputar kembali pada garis start yang kini menjadi garis finish. Aku belajar setia sampai akhir.

Kendati berada pada rombangan akhir, namun aku berusaha setia untuk mencapai titik balik. Ternyata tanpa terasa akhirnya aku menemukan tanda U-turn itu. Senang rasanya. Tapi ini baru separuh dari seluruh perjalanan. Ibarat siklus usia hidup manusia, ini baru paruh baya. Aku mesti mengisinya tetap dengan rasa syukur dan sukacita. Dalam perjalanan hidup paruh keduaku, aku harus semakin membawa manfaat bagi sesamaku, utamanya keluarga.

“Hai, mau aku bantu mengambil gambar kalian berdua?” tanyaku berteriak dari kejauhan ketika aku melihat sepasang pasutri sibuk bergantian berfoto di sebuah taman nan cantik. “Boleh, boleh. Memang kami ingin berfoto berdua namun yang kami lakukan baru sendiri-sendiri. Kami tidak pintar selfi berdua seperti anak-anak muda itu,” kata sang suami disambut tawa renyah sang istri. Jadilah kami tertawa lepas bersama. Seringkali kita hanya perlu melakukan perbuatan-perbuatan kecil yang seperti tidak ada artinya. Namun kalau ternyata itu membawa kebahagiaan bagi sesama kita, kenapa tidak kita lakukan?

Keinginanku untuk segera sampai garis akhir mendorongku melangkahkan kaki secara lebih cepat. Tak urung aku berhasil melewati rombongan lain yang berjalan lebih santai. Teriak salam dan lambaian tanganku yang dibalas dengan sapaan serupa membahagiakan kami semua. Yah, hal-hal kecil begini menjadi gambaran perbuatan-perbuatan yang harus kita lakukan pada siklus kehidupan kita dalam perjalanan pulang. Kita mesti melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Mungkin saja perbuatan kecil, namun bila kita lakukan dengan penuh cinta, Tuhan akan tersenyum dari atas sana.

Berpose di depan banner sponsor KD

Tanpa terasa aku telah sampai di garis akhir. Di lapangan itu aku melihat sebuah drone terbang berputar-putar di atas kami. Mata kameranya merekam gerak-gerik setiap orang di bawahnya. Aha! Aku baru tersadar. Tuhan yang telah memberikan akal budi kepada manusia ciptaan-Nya telah membimbing pula umatnya hingga mampu menciptakan drone dengan kameranya. Alat ini bak miniatur mata Tuhan. Bukankah manusia diciptakan seturut citra Pencipta? Maka melalui karya manusia kita mampu melakukan apa yang Tuhan bisa lakukan, namun dalam skala yang sangat mini. Cukuplah itu untuk membuat kita tersadar bahwa Pencipta kita yang Maha Segalanya itu, keagungan dan kemuliaan-Nya jauh mengatasi langit.

Matahari semakin meninggi menyebar terik yang menyengat. Namun sesekali datang angin bertiup membawa kesejukan. Cinta Tuhan pun laksana hembusan nafas yang memberi kesejukan dan kehidupan. Ketika kita berjalan bersama dengan penuh cinta, Yesus ada bersama kita. Jalan Sehat Nusantara membuktikannya.

Start typing and press Enter to search