Cinta Sang Sumber Kehidupan
- eRelasi
- 15 September 2021
Membumikan Seni Sastra Lisan Banjar dalam Festival
Ketika pengundian episode Festival UeRL dilakukan pada 30 Maret 2021, kami merasa lega saat mendapatkan episode 4 Sang Hidup. Sebenarnya persiapan dan kreasi telah kami ancang-ancang sejak ide Festival UeRL disampaikan oleh ME Indonesia, meskipun hal itu bukan sesuatu yang mudah karena harus melakukan di tengah-tengah situasi pandemi. Kesulitan itu terutama bagaimana menghadirkan suatu kreasi budaya, dengan melibatkan banyak pasutri dan pastor ME namun bisa menjadi suatu tampilan yang menarik.
Keluar Dari Zona Nyaman
Dalam rapat Dewan Distrik XIV ME Banjarmasin pada awal tahun 2021, kami telah sampaikan rencana kegiatan ME Indonesia yang akan menghadirkan kreasi seni dari seluruh distrik dan wilayah. Tuntutan tampilan secara virtual ini membuat seluruh team ME yang biasanya memiliki ide-ide kreasi yang cukup segar dan menarik, bingung seperti berhadapan dengan jalan buntu. Oleh karena itu dalam rapat tersebut masih belum ada keputusan bentuk kreasi yang akan ditampilkan dalam Festival UeRL.
Pada saat yang sama, tahun ini, Keuskupan Banjarmasin mengambil fokus pastoral Gereja Berdialog, yang salah satu bentuk dialog adalah Dialog Budaya. Dalam Dialog Budaya, Gereja belum terlalu mendalami budaya Banjar karena ini lebih mengarah pada budaya saudara saudari umat Muslim. Kami berpikir bahwa justru inilah kesempatan bagi kami untuk menampilkan sesuatu yang tidak biasa, yang justru di luar zona nyaman kami.
Berkat bantuan salah satu pasutri ME, Pasutri Yaya-Iyue yang mendalami budaya Banjar dan telah mengeluarkan buku kumpulan pantun berbahasa Banjar; kami merencanakan untuk menampilkan seni sastra lisan Banjar: Madihin. Di Banjar sendiri seni sastra ini hanya sedikit orang atau kelompok yang mempelajari. Bahkan umat Gereja sendiri hanya Yaya yang pernah melakukan tampilan Madihin, itupun hanya sekali.
Menggali Materi Festival
Tim kerja kreatif segera dibentuk sejak Panitia Festival mengibarkan bendera “start”; dengan membagi materi 5 tema Jejak Kasih Allah ke dalam 8 Kelompok Dialog yang ada di distrik. Notulensi hasil dialog menjadi jangkar bagi pengembangan ide materi festival. Melalui WA group, kami bertekun berefleksi bersama, mempelajari budaya sastra lisan Madihin, menyiapkan peralatan terbang sebagai alat musik pengiring dan membuat kerangka utama penyajian. Masa Pandemi Covid-19 menjadi tantangan tersendiri karena kami harus membatasi jumlah pengisi tampilan.
Pelaksanaan dan Tantangan
Nining:
Platform yang disampaikan Panitia Festival bagi saya merupakan sebuah tantangan. Saya merasa bersemangat karena kami memutuskan sesuatu yang baru. Cukup sebuah penguat ketika Maria Roeslie pernah sekali mementaskan madihin. Pastor Johan dan Pastor Hersemedi memberikan diri total menepuk terbang dan berlanggam ala Banjar. Anton dan YenYen aktif memberikan masukan sehingga terbangun naskah. Kami mempelajari pantun dan membuat tampilan tidak berkesan standar, tapi lebih fresh dan bikin senyum. Waktu berlatih kami nilai cukup, Pastor Hersemedi menyediakan seminari sebagai home base latihan. Kami senang karena Pastor Her disiplin dan bicara lugas.
Anton:
Bagian sulit-sulit gampangnya adalah meminta Bapak Uskup yang adalah anggota ME ikut serta dalam sajian ini. Kami berharap keterlibatan beliau akan membuat Yesus semakin dikenal oleh masyarakat asli Kalimantan Selatan. Kami terkejut juga ketika Bapak Uskup langsung mengiyakan untuk ikut mengisi dengan senang hati “Saya berpantun saja, kalau menyanyi madihin saya tidak bisa,” kata beliau sambil tertawa.
Dua kerabat kerja pasutri Budi-Chien (videografi) dan Harris-Reny (recording) dikirim Tuhan untuk menyelesaikan proses produksinya. Mereka menyediakan diri dan menggunakan fasilitas pribadinya. Para pemain, baik pemadihin maupun pemain visual menurut saja apa kata mereka.
Nining:
Tantangan terakhir adalah finishing. Kami merasa belum puas setelah editing terakhir penampilan masih datar dan ekspresi kurang. Bersama Budi kami menambahkan aneka variasi tampilan. Konsep festival sinterdaring kami lengkapi dengan video drama, tari gerak bersama pengisi video dan menganimasi pantun jenaka.
Anton:
Festival UeRL bagi kami merupakan sebuah oase untuk menimba kembali kebersamaan dalam gerakan, baik di komunitas Distrik maupun Komunitas ME Indonesia. Hati kami berbunga-bunga, seperti kemarau yang tersiram hujan pertama. Kami berharap bermadihin merupakan pewartaan yang layak dikembangkan untuk membumikan kasih Kristus di banua yang kami tinggali, membangun dunia dengan cara-cara baru sesuai visi dan misi Gerakan ME. Dirgahayu ME Indonesia ke-46. (DS/ MJ)