Melayani di Era Digital ala Monsinyur

Jumat siang tanggal 8 April 2022 itu kami bersua dengan sosok yang istimewa di kompleks Keuskupan Agung Samarinda. Pembawaannya yang kebapakan, membawa suasana hangat,  seolah kami sedang berdialog dengan orang tua sendiri.  Beliau adalah Monsinyur Yustinus Harjo Susanto,MSF Uskup Keuskupan Agung Samarinda. Durasi perjumpaan memang  cukup singkat namun padat,  esensi pesan melalui rangkaian kata  tersampaikan secara akrab serta melekat di hati. Berikut hasil pembincangan kami dengan beliau yang secara umum mengangkat tema melayani keluarga di era digital,

Dari Sosialisasi hingga Persepsi

Tak dapat dipungkiri keluarga inti atau nucleus jaman now, menjumpai tantangan yang semakin kompleks.  Faktor eksternal seperti maraknya pengaruh buruk media sosial, serta fenomena pergeseran nilai perkawinan dari kesetiaan di saat untung dan malang,  menjadi kebersamaan disaat suka dan senang saja. Untuk itu ME sebagai gerakan cinta kasih yang berfokus pada keluarga,  penting dan mendesak  untuk bersosialisasi secara aktif dan berkesinambungan melalui media digital.  Uskup yang telah mengikuti weekend ME di tahun 1985 ini menuturkan, bahwa saat ini masih cukup banyak keluarga Katolik yang belum mengenal apa dan bagaimana ME.  Maka perlu ditempuh cara kreatif untuk mengenalkan gerakan ini kepada semakin banyak umat.  Menurutnya, sosialisasi yang paling efektif adalah melalui keteladanan pasutri pasutri yang telah mengikuti ME.  Mereka akan  menjadi iklan yang hidup dan aktual, saat sudah menampakan relasi yang penuh kasih sebagai pasutri dalam hidup keseharian.  Hal yang kedua adalah soal persepsi. Secara umum umat menganggap bahwa ME hanya untuk pasutri  yang bermasalah, maka untuk yang dalam kondisi baik baik saja tidak perlu ikut ME.   Tentu saja hal ini kurang tepat, mengingat kegiatan ME ini bertujuan menjadikan perkawinan yang sudah baik menjadi lebih baik dan berbahagia.  Disamping itu juga muncul pandangan bahwa dengan ikut ME maka akan membongkar aib keluarga kepada publik, padahal kenyataannya privasi pasutri sangat dihargai selama mengikuti weekend ME.   Untuk itu perlu usaha kongkrit dari komunitas ME terutama melalui medial  digital kekinian seperti facebook, instragram dan tiktok guna menyediakan sumber informasi yang akurat nan valid.

 

Dari Nggetih hingga Ngogrok Ogrok

Monsinyur yang tahun 2022 ini merayakan Ulang Tahun Imamat ke-40 dan sekaligus Tahbisan Episkopal yang ke-20 ini mendorong para pelayan dalam gerakan ME ini untuk “nggetih”.   Kata “nggetih” berasal dari kata getih (darah) yang berarti bersedia berkorban. Dalam rangka mencapai sebuah Visi gerakan ME yaitu Cintailah satu sama lain seperti aku telah mencintaimu,  diperlukan sosok pelayan yang bersedia mengorbankan waktu, pikiran, dan energinya.

Termasuk didalamnya dalam menyikapi era digital ini.  Maka pembelajaran cara melayani dengan media digital seperti zoom, google meet, google form  yang interaktif dan menarik sudah menjadi kebutuhan pokok nan wajib bagi para pelayan gerakan ini.  Disamping itu semangat untuk terus “ngogrok ogrok” juga diperlukan.  “Ngogrok” berasal dari kata ogrok yang berati alat yang digunakan untuk menjolok dengan galah. Adapun terjemahan bebasnya adalah memberikan motivasi  secara terus menerus melalui  berbagai cara kepada anggota komunitas untuk menghidupi nilai nilai sakramen perkawinan dalam gerakan ini. Kegiatan komunitas perlu dirancang secara menarik dengan mengkombinasi metode online dan offline, sehingga para alumni peserta weme akan terus memiliki sarana yang memadai untuk bertumbuh dalam relasi kepasutrian.  Diperlukan dedikasi dan komitmen untuk merespon kebutuhan umat terutama pada era digital yang diakselerasi oleh pandemi. Melayani melalui semangat nggetih dan ngogrok ogrok akan tetap relevan dan menjiwai pastoral keluarga di era digitial ini imbuhnya. (IH/MJ)

 

Start typing and press Enter to search