Sapaan Ala ME…. Siapa Takut?
“Hai, Mas Suryo. Kabar sehat kan? Kapan main ke sini? Masih takut dengan si-Covid?” seungkap pertanyaan seorang teman ME saat ia telepon saya beberapa saat yang lalu.
Kami ngobrol beberapa saat tentang rencana kegiatan ME. Kapan kami bisa bersua lagi. Di mana dan dalam bentuk apa. Apakah kita masih memilih kegiatan online saja?
Marriage Encounter Distrik III Joglolang terdiri dari tiga wilayah, yaitu wilayah Jogja (Yogyakarta), wilayah Solo dan wilayah Magelang. Dengan tiga wilayah
pelayanan tersebut sesungguhnya bukan hal yang mudah untuk memantau, menyapa dan menemani para pasutri yang berada di tiap-tiap paroki dan kelompok dialog dalam membangun dan mengembangkan kualitas relasi mereka, baik sebagai pasangan maupun dalam komunitas. Maka, sungguh membahagiakan bila partisipasi aktif para aktivis ME menjadi kekuatan pendukung – support system Kordis dan Pilar-pilar ME. Apakah sudah terwujud? ME Joglolang selalu mengusahakannya dalam terang kasih Tuhan.
Di tengah-tengah dinamika Kordis dan para Pilar ME menumbuh-kembangkan kelompok dialog dan semaian sapaan ME di paroki-paroki, pandemi Covid-19 datang dengan cepatnya. Bulan Juni 2021 ini menandai masa pandemi masuk bulan ke-15. Tidak terasa waktu bersisian dengan capaian langkah-langkah kami semua mengisi relung-relung relasi para pasutri. Kami takut? Itu fakta. Kami miris? Itu nyata. Namun, inilah jejak-jejak kasih yang kami perjuangkan bersama di tingkat Distrik, wilayah maupun paroki.
Pada kesempatan ini, kami baru menampilkan potret kegiatan di tingkat Distrik dan wilayah Jogja. Kegiatan Distrik adalah kegiatan dengan peserta sebanyak mungkin dari seluruh wilayah, sedangkan kegiatan wilayah lebih diperuntukkan bagi komunitas ME paroki-paroki atau sebuah paroki. Bentuk dan media kegiatan adalah hampir 75% dalam jaringan (daring) atau model zoom meeting dan live streaming.
Imbas pandemi covid-19 dalam kegiatan level distrik mulai terasa saat perayaan World Marriage Day tahun 2020 ditiadakan. Maka para pegiat ME bersama Tim dan Pilar ME berusaha menciptakan ruang dan media, memekarkan serta menjaga kualitas komunikasi-relasi para pasutri dan komunitas dengan membangun beberapa acara, di antaranya:
- Social Distancing Series, dengan media zoom meeting, yang hingga bulan Maret kemarin sudah masuk edisi ke- 6. Secara khusus, kegiatan rekoleksi ini menghadirkan seorang pastor ME dan dua pasutri sebagai pemandu acara. Topik-topik yang dipilih tentu yang bermuatan spiritualitas dan realitas dinamika relasi pasutri dan keluarga, seperti Jejak-Jejak Kaki Allah (topik terakhir), juga berbagi oleh-oleh Denas 2020 dalam Pass On Sharing, berjudul: You Are Loved. Selain sharing dan penguatan,sesi tripas atau dupas dalam room/kelompok juga dihadirkan sehingga muatan dialog tetap terjaga. Tidak tertinggal juga harapan banyak pasutri untuk bersyukur atas rahmat sakramen perkawinan, yang diwujudkan dalam Misa World Marriage Day 2021, live streaming dari gereja St. Kristoforus paroki Banyu Temumpang (Anggur Kana dan Sebuah Periuk, E-Relasi edisi ke-8).
- Terobosan terkini Distrik III adalah acara Rekoleksi Keluarga, kolaborasi antara Tim Kerasulan Keluarga CB, ME Distrik III Joglolang dan pegiat ME serta pelaku pendidikan, dengan tema Pendidikan Anak di Masa Pandemi, yang rencananya digelar pada Minggu, 27 Juni 2021, pukul 10.00 – 12.00.
- Sebagai komunitas yang turut mengembangkan relasi dengan distrik lain dalam koordinasi Kornas ME,maka Distrik III juga barusan selesai melakukan pengambilan adegan, casting Tari Kisah Penciptaan, dalam rangka memeriahkan Festival Sinterdaring ME Nasional. Proses finishing dan editing masih berlangsung. Casting dilaksanakan selama dua hari, 27-28 Mei 2021 dan berada di dua tempat, di Wisma OMI Condong Catur – kota Yogya dan paroki Bonoharjo – Kulon Progo. Para pasutri ME berasal dari paroki Nandan, Minomartani, Pugeran, Jetis, Salam, Banyu Temumpang (Magelang) dan Cawas (Klaten- Solo), dengan para pastor antara lain: pastor P. Susanto Pr, pastor A. Joko Purwanto Pr, pastor dari wisma OMI dan pastor FX. Suyamto Pr, serta didukung para umat sebagai penabuh gamelan, pemain gejog lesung (alat musik dari tempat penumbuk padi) dan para penari.
Kami sempat menanyakan pada salah satu pasutri peserta casting Festival, “Pak Pri, panjenengan (Anda) tidak kuatir dengan situasi pandemi yang terlihat merebak, dan masih kersa (mau) ikut kegiatan?” Jawabnya, “Ya, tetap melakukan dan menjaga protokol kesehatan, itu utama.” Dalam hati saya berkata, bagaimana dengan saya, masih berani ber-ME ria? Bagaimana dengan kita?
Setelah melihat sejenak kegiatan tingkat distrik, kami akan berbagi syukur atas sharing sepasang suami istri dari salah satu paroki di wilayah Yogyakarta bagian barat, arah menuju kota Wates, dan masih termasuk daerah kabupaten Bantul, yaitu gereja St. Theresia, paroki Sedayu. Komunitas ME paroki Sedayu diketuai oleh pasutri JB Salamun dan Ch. Sumarsih.
Saya: “Kangmas (Mas) Pram, ME Sedayu masih giat bersapa dan berkunjung?”
Mas Pram: “Puji Tuhan dimas (dik), kami dan komunitas masih aktif. Ya, meski banyak keterbatasan di tengah pandemi ini, sapaan dan kunjungan yang saling menguatkan kami.”
Saya: “Lha, ini kan pandemi, gak boleh kumpul- kumpul dan berkerumun? Bagaimana bisa berelasi dan komunikasi?”
Mas Pram: “Pertemuan rutin memang terakhir kami adakan di bulan November 2020. Tetapi kami masih menjalankan kunjungan anggota/umat yang sakit, maksimal 1 jam, dengan prokes ketat sudah termasuk doa bersama.”
Dalam sharing berikutnya, mas Pram bertutur bahwa kegiatan kunjungan adalah yang menguatkan, meski kadang hanya dilakukan oleh satu pasutri. Secara khusus bila ada ujub syukur dan panenan, kunjungan sejenak tetap ada namun ditambah dengan berbagi panenan, BPS dan dialog dupas (dua pasang). “Itu cukup melepas rindu, namun saling meneguhkan,” jelasnya singkat.
Mas Pram mengakhiri berbagi pengalaman dan perasaannya dalam berkegiatan ME, dengan bertutur tentang suasana komunikasi via whatsapp yang cukup memberi ruang relasi dalam komunitas. Saat saya tanya perihal kegiatan webinar, mas Pram merasa bahwa tidak semua anggota bisa berperan aktif, ada yang karena kendala waktu maupun kemampuan mengoperasionalkan alat (para pasutri sepuh-tua), maka mas Pram dan pasangannya, mbak Rosa, yang lebih sering mewakili komunitas ME paroki (kebetulan sebagai Humas komunitas).
Seperti yang diungkapkan mas Pram dan pasangan, bahwa sapaan dan perjumpaan menjadi kekuatan yang dahsyat, maka patutlah kita syukuri setiap kesempatan di saat kita bisa menyapa teman, boleh berujar bersama, bahkan bisa bersua sejenak, tentu saja tanpa meninggalkan langkah- langkah bijak dalam menyikapi pola hidup dan relasi di masa perubahan baru saat ini. [WN, IJ]