Yuk, Atasi Zoom Fatigue Dalam Keluarga!

“Link Zoom untuk sore ini mana?”
“Aduh, poor connection nih! Aku off-cam dulu ya…”
“Masih di-mute…”
Kalimat-kalimat di atas seringkali terdengar dan kita ucapkan saat pandemi Covid-19 mulai melanda dunia termasuk Indonesia. Sejak saat itu, kita mulai mengenal istilah Zoom, sebuah aplikasi video conference berbasis Internet untuk berkomunikasi secara virtual. Aplikasi ini dapat disematkan ke dalam gadget (kakas) pintar kita, mulai dari komputer, laptop, dan ponsel. Zoom merupakan salah satu dari sekian banyak teknologi video conference yang seringkali kita dengar dan gunakan. Bagi sebagian orang, Zoom telah menjadi kebutuhan sehari-hari sehingga frekuensi dan durasi pemakaiannya sangat tinggi.
 

Pasutri Guntur Ima

Komunitas Marriage Encounter (ME) pun turut terdampak pandemi. Aktivitas komunitas seperti kelompok dialog, renewal, pertemuan ME tingkat paroki hingga nasional dan internasional pun dilakukan menggunakan Zoom. Penggunaan media Zoom untuk bertemu dan berkomunikasi secara virtual ini sangat efektif untuk mengatasi kendala jarak dan waktu selama pandemi. Tanpa khawatir resiko terpapar virus, anggota komunitas dapat tetap saling bertatap muka, bersalam sapa, berbagi, berdiskusi, bernyanyi dan berdoa bersama. Pertemuan melalui media virtual Zoom juga menekan kebutuhan untuk menyiapkan ruangan, dekorasi, dan konsumsi, serta meniadakan kelelahan menempuh perjalanan menuju lokasi acara. Namun solusi pertemuan virtual ini juga memiliki dampak negatif.

Kita dapat mengalami kelelahan psikologis saat menggunakan Zoom dengan durasi dan frekuensi yang cukup tinggi. Aktivitas yang sepertinya sederhana, hanya duduk dan menyimak layar kakas ternyata bisa berdampak negatif. Professor Jeremy Bailenson, seorang pakar psikologi dari Stanford University, Amerika Serikat, menguraikan ada 4 (empat) penyebab kelelahan yang kemudian dikenal sebagai “Zoom fatigue”, yaitu:

1. Jumlah kontak mata jarak dekat yang terlalu berlebihan dan tidak natural.

Saat kita mendengarkan pembicara, seringkali kita juga memperhatikan wajah-wajah lain pada layar yang juga “menatap” kita. Demikian pula ukuran wajah di layar seperti layaknya orang yang mendekatkan wajahnya ke wajah kita saat kita berinteraksi secara intim atau saat berkonflik.

Solusi: Hindari tampilan layar yang terlalu besar, gunakan keyboard eksternal untuk menambah jarak dari layar dan menciptakan ruang personal yang nyaman.
2. Melihat diri sendiri secara konstan selama video conference.

Aplikasi video conference menyediakan fitur untuk dapat melihat diri kita sendiri, seolah kita sedang berkaca. Jika hal ini terus berlangsung selama beberapa jam setiap hari, maka kondisi psikologis kita akan mengalami stress dan kelelahan.

Solusi: Gunakan fitur “hide self-view” untuk mencegah melihat diri kita sendiri saat video conference.
3. Berkurangnya mobilitas tubuh kita.
Zoom memaksa kita untuk tetap di tempat dan membatasi kebutuhan tubuh kita untuk bergerak. Bailenson mengungkap ada hasil penelitian lain yang menyebutkan bahwa kemampuan kognitif kita bisa bekerja lebih baik saat kita bergerak.
Solusi: Buatlah “ruang personal” Anda sendiri yang memungkinkan Anda tetap bergerak, misalnya dengan mematikan kamera video selama beberapa saat dan bergerak secukupnya.
4. Beban kognitif yang lebih tinggi saat video conference.
Saat menggunakan Zoom, kita harus bekerja lebih keras untuk memahami dan mengirim tanda-tanda verbal maupun non-verbal. Sebagai contoh, saat kita setuju dengan pendapat orang lain, kita harus mengangguk dengan kuat, mengangkat jempol, mengetik, atau melakukan aktivitas tambahan seperti menggunakan tombol reaction untuk menunjukkan respon kita. Meskipun sederhana, namun kondisi mental kita harus bekerja lebih keras untuk berkomunikasi.
Solusi: Dalam durasi video conference yang panjang, Anda bisa meminta izin untuk menggunakan suara saja (audio only), bahkan juga meninggalkan layar komputer sambil tetap menyimak suara.
Masa pandemi yang berlangsung lama menyebabkan kondisi ‘serba Zoom’ tersebut dialami oleh hampir seluruh anggota keluarga. Kondisi harian mungkin mengharuskan orang tua tetap bekerja dari rumah, sementara anak-anak bersekolah dari rumah. Kelelahan berinteraksi virtual dapat dialami bukan hanya oleh orang tua, namun juga anak-anak. Sebagai pasangan dan/ atau orang tua, sudah menjadi tugas kita untuk menjaga kondisi kesehatan anggota keluarga kita, khususnya kesehatan mental. Situasi pandemi boleh jadi membatasi aktivitas kita, namun cinta kasih kita harus tetap tidak terbatas demi orang-orang yang kita cintai dan sayangi. Solusi-solusi sederhana yang telah disampaikan di atas dapat kita terapkan juga untuk anggota keluarga kita agar terhindar dari dampak Zoom fatigue. (EA,IH)
 
Sumber: https://news.stanford.edu
Sumber foto: People photo created by karlyukav – www.freepik.com

Start typing and press Enter to search